Bab 7. Terpikat Masakan Ningsih

26.5K 1.3K 170
                                    

Hari pertama aku datang ke mansion sudah langsung bekerja.

Selesai makan siang, aku disuruh mengeluarkan pakaian Nyonya besar dari koper dan menatanya di lemari. Nyonya besar, yang kemudian aku tahu bernama Zulfa, tidur di kamar utama di sebelah kamar yang dulu pernah kupakai berhubungan dengan Tony. Sedangkan kamar itu dipakai Tony bersama Salma dan anaknya saat menginap di mansion ini. Aku penasaran, apa yang Tony pikirkan ketika tidur di atas kasur itu bersama isteri dan anaknya? Pernahkah dia memikirkan percintaan panas kami tiga tahun lalu?

Sore hari, Tony dan anak isterinya kembali pulang ke Surabaya. Hanya tinggal aku berdua saja di mansion ini bersama Nyonya majikan. Oh, ralat. Ada pak satpam juga yang berjaga di pintu gerbang. Di mansion ini, ada dua orang satpam yang selalu bergantian berjaga di pos seukuran kamar kos. Aku tidak tahu siapa saja nama mereka. Kami belum sempat berkenalan. Tapi Lik Parno sudah mengenal mereka secara akrab. Aku pernah melihat mereka saling menyapa saat mengantarku ke sini. Untung mansion ini ada satpamnya. Kalau tidak, sangat mengerikan tinggal berdua saja dengan Nyonya majikan di mansion tengah hutan tanpa ada tetangga sama sekali.

Setelah makan malam dan minum obat, Nyonya Zulfa tidur di kamarnya. Aku yang tidak tahu harus melakukan apa sebenarnya ingin sekali mengadakan mansion tour seorang diri. Aku penasaran pada seluruh ruangan di sini. Tapi aku takut dinilai lancang. Apalagi ruangan-ruangan di mansion ini waktu malam sangat menakutkan, bahkan beberapa lampu sudah dipadamkan. Aku takut berkeliaran di tempat asing seluas ini sendirian.

Kuputuskan untuk mendekam saja di kamar. Walaupun aku belum membeli paket data, tapi di sini disediakan Wi-fi gratis yang koneksinya lancar. Sinyalnya juga lancar, mungkin karena di dekat mansion ini ada tower BTS.

Aku menelepon Ibu untuk memastikan beliau baik-baik saja kutinggal sendirian di rumah. Kemudian aku menonton drama Korea sampai ketiduran. Untungnya aku tidak telat bangun. Nyonya Zulfa juga sudah bangun dan mengajakku salat Subuh berjama'ah.

Selesai salat, aku mandi dan memasak untuk sarapan Nyonya majikanku. Beliau minta dimasakkan tempe goreng, telor ceplok, dan sayur bening bayam. Untung semua bahannya ada di lemari es. Aku tebak, Tony dan Salma sengaja memenuhi lemari es ini dengan bahan-bahan masakan lengkap agar aku tidak perlu repot berbelanja ke pasar. Meskipun pasar di sini bisa ditempuh dengan lima belas menit perjalanan saja. Tapi aku dilarang meninggalkan Nyonya Zulfa sendirian tanpa ada yang menemani.

Selesai memasak, aku makan bersama Nyonya Zulfa di ruang makan. Awalnya kutolak, tapi beliau memaksa. Mau tidak mau, aku menuruti permintaannya.

Tidak disangka Nyonya Zulfa menyukai masakanku. Berulang kali beliau memuji dengan raut wajah bahagia, "Masakanmu enak, Ning. Persis seperti masakan Jiddahnya Tony."

Aku mengerutkan dahi menanggapi pujian itu. Siapa Jiddah?

"Apa Jiddah itu pengasuh Mas Tony waktu kecil ?" Aku menebak.

Nyonya Zulfa tertawa sampai kuah sayur bening menciprat keluar dari mulutnya. "Jiddah itu nenek." Beliau mencabut tisu dari atas meja. "Tapi ya, kamu benar. Beliau dulu sering mengasuh Tony sejak anak itu masih kecil. Itu sebabnya Tony sangat dekat dengan neneknya."

Aku manggut-manggut menanggapi pemberitahuan itu. Aku baru tahu, Jiddah itu nenek. Bahasa apa? Arab? Mungkin. Ibunya Tony kan ada keturunan Arab.

"Tony suka masakan Ibuku. Setiap kali Jiddahnya memasak, dia selalu lahap makan." Nyonya Zulfa meletakkan tisu di sebelah piring lalu lanjut menyuap makanan.

Aku baru tahu, Tony sangat dekat dengan neneknya. Pantas saja dulu dia memuji sup ayamku enak seperti masakan neneknya.

"Kamu nggak takut tinggal di mansion sebesar ini sama aku, Ning?" Nyonya Zulfa menanyaiku di tengah kami sedang menikmati sarapan.

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang