Bab 4. Bapak Meninggal

33.7K 1.3K 66
                                    

Pagi setelah Subuh, aku dan Tony berangkat ke Selopanggung untuk melihat tanah. Syukurnya, dia suka dengan tanah itu.

"Uangnya sudah aku transfer ke rekeningmu." Dia berkata setelah berkutat beberapa detik dengan Hpnya, lalu mendongak padaku. "Coba kamu cek. Punya Internet Banking, kan?"

Aku mengangguk sebelum menunduk ke layar Hpku. "Punya." Lalu kubuka aplikasi Banking dan kuperiksa saldonya. Aku terkejut melihat jumlah uang yang dia transfer. Refleks, kepalaku mendongak. "Kok jadi enam ratus juta, Mas?"

Tony menatap lurus ke depan. Kedua tangannya menggenggam setir. Ponselnya sudah diletakkan kembali ke dasbor. "Buat beli sepeda motor. Sisanya bisa kamu pakai untuk makan sehari-hari."

Aku kembali menunduk untuk menitikkan air mata. Laki-laki ini sangat baik padaku. Bagaimana aku tidak makin jatuh cinta padanya? Meskipun terkadang dia terkesan dingin dan angkuh padaku. Tapi aku tahu. Dia bersikap seperti itu hanya untuk menjaga jarak agar tidak melibatkan perasaan. Sebab, dia akan menikahi Salma sebentar lagi.

"Jangan menangis." Tony mencabut tisu lalu memberikannya padaku.

Aku menerima tisu itu, kemudian mengusapkannya pada pipi untuk menghapus air mata. "Terima kasih, Mas." Aku berkata dengan suara bergetar yang sulit kukendalikan. "Aku senang bisa menghabiskan malam kemarin bersamamu. Itu pengalaman pertamaku yang sangat indah."

Tony tidak membalas. Tatapannya masih tertuju ke depan.

"Aku nggak menyesal melepas keperawananku untuk Mas Tony." Aku berkata dengan sungguh-sungguh.

Tapi Tony masih tetap saja diam, tidak mau membalas ucapan tulusku.

Aku mengambil napas panjang, berusaha mengenyahkan perih yang mulai menjalar kuat di hatiku.

Semalam, lebih dari lima kali kami melakukannya. Tony memeluk, mencium, bahkan memperlakukanku dengan sangat lembut. Seolah hanya aku satu-satunya perempuan yang dia cintai. Tapi sekarang, setelah transaksi kami selesai, selesai pula perlakuan romantisnya padaku. Dia kembali berubah menjadi pria dingin dan angkuh seperti sekarang ini.

Aku berdeham agar suaraku kembali normal. "Oya, Mas, sertifikat tanahnya masih tertinggal di rumahku. Kemarin sengaja nggak kubawa, takut Mas nggak sreg sama tanahnya. Tapi ternyata Mas malah melebihkan uangnya." Aku kembali bersikap normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan perasaanku. "Terus, gimana sertifikatnya, Mas?"

Tetap tanpa menoleh padaku, Tony menjawab, "Kirim ke kelabku di Surabaya. Kamu tahu alamatnya, kan?"

Aku mengangguk menanggapi perintahnya. "Baik. Nanti akan kukirim sertifikat tanah pakai ekspedisi secepatnya."

Tony tidak menjawab lagi, malah melihat jam tangannya sebagai kode agar aku cepat pergi.

Tahu diri bahwa sedang diusir, aku berpamitan, "Kalau begitu, aku permisi dulu."

"Ning." Tony memanggilku tepat ketika aku sedang membuka pintu.

"Ya?" Aku menoleh dengan wajah penuh harap. Aku berharap, dia akan mengungkapkan perasaan yang sama denganku.

"Tolong, jangan beritahu siapa pun soal transaksi atau hubungan kita semalam. Cukup hanya kita berdua saja yang tahu." Tapi ternyata, dia mengucapkan kalimat yang semakin melukai hatiku dengan wajah tanpa ekspresi.

Sambil memaksakan sebuah senyuman, aku mengangguk. "Iya. Akan kurahasiakan dari siapa pun, bahkan dari Ibuku juga."

"Terima kasih. Kamu bisa pergi sekarang." Tony mengusirku lagi.

Aku kembali mengangguk. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah keluar dari mobil, aku berdiri di pinggir jalan untuk menanti angkutan desa datang. Sedangkan Tony melajukan mobil, meninggalkanku di tempat sepi ini sendiri.

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang