Bab 11. Ningsih Cemburu

22.5K 1.2K 103
                                    

Sejak percomblangannya kugagalkan, Nyonya Zulfa berubah jadi pemurung, tidak ceria seperti biasanya, dan sering tidak nafsu makan.

Aku merasa bersalah sudah membuat beliau jadi seperti ini. Bahkan Jumat pagi beliau demam sampai menggigil di kasur. Aku yang merasa khawatir dan panik, langsung menelepon Tony.

"Mas, Ibu demam. Barusan aku cek, suhu tubuhnya 39 derajat." Aku mengapit Hp di antara telinga dan bahu sambil meletakkan kompres dari handuk basah hangat di dahi Nyonya Zulfa.

Suara Tony terdengar panik di seberang sana. "Udah kamu kompres pakai air hangat?"

"Udah, Mas. Ini lagi kukompres."

"Aku telponkan paman Furqan dulu. Beliau seorang dokter, biasa memeriksa Mami kalau lagi sakit."

Aku mengangguk lalu sadar Tony tidak bisa melihatku. "Baik, Mas."

Tony memutus sambungan. Tiga puluh menit kemudian, dokter yang juga pamannya Tony tiba di mansion sambil membawa tas perlengkapan kedokteran.

Beliau mengeluarkan stateskop untuk memeriksa detak jantung Nyonya Zulfa. "Sejak kapan demamnya?"

Aku yang sedang berdiri di seberang ranjang menjawab, "Sejak setelah Subuh tadi."

Pria paruh baya berkemeja batik dan celana bahan hitam itu menatap Nyonya Zulfa dengan wajah kalem. "Ono pikiran opo to, Mbakyu? (lagi ada pikiran apa sih, Mbak?)"

Nyonya Zulfa menjawab dengan wajah lesu, "Jenenge wong tuwo, Dik, akeh sing dipikir. (Namanya juga orangtua, Dik, banyak yang dipikir)."

Dokter Furqan tersenyum, memasukkan stateskop ke tas. Beliau ganti mengeluarkan tensimeter dan meraih tangan majikanku untuk dipasang busa pengikat. "Kabeh yen dipikir ora nutut, pasrahke wae karo sing nggawe urip. (semuanya kalau dipikir sendiri tidak kuat, pasrahkan saja pada Yang Maha Kuasa)."

Nyonya Zulfa tidak menjawab hanya berdecak sambil melengos ke arahku. Waktu melihatku, beliau tersenyum lemah. Aku membalasnya dengan senyuman dan tatapan cemas.

"Ini lho, tensimu tinggi." Telunjuk dokter Furqan mengarah pada tensimeter, aku ikut melongok untuk melihat hasilnya. "240 ini tinggi lho, Mbakyu. Ayo, gek ndang didukne pikirane. (Ayo buruan dibikin santai pikirannya)."

Lagi-lagi nyonya Zulfa tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah sedang menghalau sesak di dadanya. Ada apa dengan majikanku ini? Apakah karena kutolak percomblangannya beliau jadi sakit seperti ini? Separah itukah?

"Mbak, apa Ibu masih doyan makan?" Dokter Furqan ganti bertanya padaku.

Aku menggeleng. "Akhir-akhir ini makanannya selalu nggak habis, Dok, masih sisa separuh lebih."

Dokter Furqan menatap Kakak perempuannya sedih. "Yang doyan makan to, Mbakyu." Lalu dia bertanya padaku lagi. "Tapi masih rutin minum obat, kan?"

Aku mengangguk. "Masih, Dok. Tapi pagi ini belum, soalnya Ibu belum mau sarapan."

Mendengar jawabanku, Dokter Furqan duduk di pinggiran kasur, meraih tangan Nyonya Zulfa dan menepuk-nepuknya pelan. "Kalau ada masalah, cerita. Jangan dipendam sendiri. Nanti malah jadi penyakit. Apa kamu nggak pengen lihat cucu-cucumu tumbuh jadi anak pintar?"

Nyonya Zulfa menatap kesal adiknya. "Lha wong ketemu mereka saja sulit kok gimana mau lihat?"

Dokter Furqan manggut-manggut mendengar jawaban itu. Lalu setelah berpamitan pada Nyonya Zulfa dan kuantarkan ke depan, beliau berpesan, "Kalau masak, kurangi garam, ya. Jangan daging berlemak, perbanyak sayur dan buah."

Aku menggangguk menanggapi pesan beliau. "Baik, Dok."

Dokter juga berpesan agar aku mengajak Nyonya Zulfa rutin berkegiatan fisik, seperti jalan cepat, berenang, atau yoga sesuai kemampuan. Terakhir, beliau berpesan agar majikanku minum obat teratur tanpa ada yang terlewati. Aku mengiyakan semua pesan itu, kemudian mengantar kepergiannya di teras. Waktu melihat mobil mercedes hitam melaju meninggalkan mansion, aku baru ingat kalau Dokter Furqan adalah Ayahnya Septi, mantan tunangan sekaligus teman SMA mas Jaka.

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang