Bab 9. Kopi Luwak

22.6K 1.4K 128
                                    

Menghuni mansion ini sama seperti tinggal di hotel mewah bintang lima. Lebih bagus malah. Kalau ada rating yang lebih tinggi dari bintang lima, mansion ini berhak mendapatkannya.

Bagaimana tidak? Lantainya saja lebih halus dan kinclong dari kulit wajahku. Itu karena setiap hari minggu ada lima petugas khusus yang datang hanya untuk memoles lantai di seluruh ruangan bahkan sampai lantai atas, menggunakan peralatan dan semir khusus untuk lantai pualam.

Fasilitas di mansion ini juga selengkap hotel mewah. Bahkan ada ruang fitness di lantai dua. Nyonya Zulfa mengizinkanku memakai ruang itu saat senggang. Beliau juga mempersilakanku memakai kolam renang outdoor maupun indoor saat pekerjaanku sudah selesai.

Tentu saja tidak kusia-siakan semua fasilitas mewah itu. Setiap pagi, sesudah salat Subuh dan sebelum mandi, kusempatkan berolahraga di ruang fitness lantai dua, atau berenang bersama Nyonya Zulfa di kolam indoor. Lalu siangnya, kami biasa menonton drama seri favorit di ruang TV. Sorenya, kami berkebun di halaman samping dan belakang. Taman depan yang terdiri dari rumput golf, pohon teh-tehan berdaun rimbun yang dipangkas rapi dan bunga-bunga warna-warni sudah diurus Lik Parno dan disirami secara otomatis oleh keran air yang menyala setiap enam jam sekali.

Di halaman samping, Nyonya Zulfa dan aku menanam banyak tanaman herbal, seperti mint cokelat, rosemary, oregano, thyme, basil, pandan wangi, kemangi Jawa, umbi-umbian rempah dan lain-lain. Sedangkan di halaman belakang ditanami tanaman tropis perenial, seperti janda bolong, daun talas keladi, pakis monyet, mawar jambe, cemara jarum, dan masih banyak lagi.

Pekerjaanku di mansion ini tidak pernah membosankan. Selalu ada kegiatan menarik yang harus kukerjakan. Merawat Nyonya Zulfa pun menjadi pekerjaan menyenangkan sekelas hobi. Aku betah bekerja sebagai perawat pribadi beliau.

Tanpa terasa, sebulan sudah kulewati dengan baik. Meskipun sesekali ada percikan api antara aku dengan Tony. Tapi, hubungan kami tidak berlanjut lebih jauh. Perisitiwa ciuman kami di pinggir jurang tidak berlanjut pada sentuhan fisik lainnya, hanya berhenti sampai di situ. Setelahnya, Tony kembali sibuk bercengkerama dengan teman-temannya. Sedangkan aku lanjut bekerja di dapur.

Aku merasa murahan. Sangat. Tapi, bagaimana lagi? Aku mencintai Tony. Meskipun dia memperlakukanku seperti perempuan tanpa harga diri, aku menikmatinya. Mungkin, aku sudah gila.

Kewarasanku di mansion ini semakin sulit dipertahankan saat Tony datang berkunjung. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia selalu datang sendirian tanpa didampingi anak dan istrinya. Nyonya Zulfa sampai melayangkan protes padanya, "Kamu ini, kok selalu datang sendirian. Alfi sama Salma mana? Aku sudah kangen cucuku. Salma juga jarang menelepon. Kalau aku yang telepon duluan pasti nggak diangkat. Kenapa dia bersikap seperti itu sama ibu mertuanya sendiri?"

Diprotes seperti itu, Tony menjawab, "Salma sibuk make-upin orang, Mam. Bisnis MUA-nya lancar, Alhamdulillah. Dia belum ada waktu buat nengokin Mami ke sini."

Nyonya majikanku mendengkus. "Lebih penting bisnisnya ketimbang nengok Ibu mertua sendiri. Lagipula, sesibuk apa sih dia sampai nggak sempat ngangkat telepon? Kalau dia nggak mau ngomong sama aku ya nggak apa-apa. Aku ini cuma butuh ngomong sama Alfi. Aku kangen cucuku. Syerin yang tinggal di Singapura saja selalu menyempatkan meneleponku setiap hari. Lha ini Salma yang cuma tinggal di Surabaya kok malah susah dihubungi."

Tony menghela napas menerima ocehan Ibunya. "Iya, Mam. Nanti aku tegur Salma biar mau nengok sama nelepon Mami lagi."

Nyonya Zulfa mengibaskan tangan. "Nggak usah. Nanti aku dikira Ibu mertua yang bawel. Biarkan saja dia sibuk sama bisnisnya. Sesuka hatinya sajalah."

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang