Bab 3. Menginap Di Mansion

44.9K 1.4K 101
                                    

Aku duduk di tepian jendela besar sambil memandang halaman samping mansion yang masih diguyur air hujan.

Masih memakai jubah mandi, Aku menunggu Tony bangun, dan belum mencuci bajuku yang basah kuyup terkena hujan. Pastinya mansion sebesar ini memiliki mesin cuci. Tapi aku tidak tahu di mana letaknya.

Kruuuk ...

Perutku berbunyi. Aku menundukkan kepala, memegangi perut.

Setelah bercinta dengan Tony, aku kelaparan. Tapi aku tidak berani pergi ke dapur. Aku bahkan tidak berani keluar dari kamar ini. Ini bukan mansion-ku. Sangat tidak sopan kalau aku berkeliaran kemana-mana atau memakai barang-barangnya tanpa izin pemiliknya. Lagipula pangkal pahaku juga masih ngilu, tidak nyaman dibuat berjalan.

Itu sebabnya aku duduk di sini sambil menahan lapar, dan bermain Hp. Sesekali tatapan tertuju pada pemandangan di luar jendela.

Tapi, sudah tiga puluh menit berlalu. Tony belum juga bangun. Aku bosan bermain Hp, atau berselancar di sosmed. Aku kelaparan dan ingin segera makan.

Kepalaku menoleh pada Tony yang masih tidur nyenyak. Seandainya dia tadi tidak menolakku, aku juga pasti masih tidur nyenyak dalam pelukannya. Tapi, terlanjur sakit hati ditolak, aku jadi tidak bisa tidur.

Tatapanku kembali mengarah pada pemandangan di luar jendela. Berbagai tanaman hias, kolam ikan, dan atap jerami gazebo tampak basah oleh guyuran air hujan. Semua itu membawaku pada kenangan masa lalu waktu aku kecil. Aku sangat suka bermain hujan-hujanan di halaman depan rumah.

Aku tersenyum mengingat kenangan itu. Sambil bertopang dagu, kubiarkan ingatanku melanglang buana ke masa lalu ...

Dulu, aku punya kakak laki-laki bernama Sapto. Dia meninggal waktu balapan liar di Simpang Lima Gumul.

Saat itu usianya baru enam belas tahun, sebenarnya belum boleh naik sepeda motor karena belum cukup umur untuk punya SIM. Tapi karena dia bandel, Bapak Ibu tidak bisa melarangnya mengendarai sepeda motor. Bahkan mereka berdua juga tidak kuasa melarang Mas Sapto untuk ikut balapan liar.

Kalau menurutku, Bapak Ibu terlalu memanjakan Mas Sapto. Mereka tidak bisa menindak tegas kenakalannya. Sehingga menyebabkan Mas Sapto meninggal di balapan liar. Tapi mau bagaimana lagi? Hampir semua anak muda seusianya di desa Kanyoran ikut balap liar. Masku hanyalah satu dari sekian banyak anak muda yang mengikuti tren. Wajar saja jika Bapak dan Ibu sulit melarangnya untuk tidak ikut-ikutan. Sekarang, nasi terlanjur menjadi bubur. Mas Sapto sudah meninggal. Dan yang didapat kedua orangtuaku hanyalah penyesalan.

Itu sebabnya, aku sekarang menjadi anak semata wayang orangtuaku. Aku sangat dimanja. Apapun keinginanku selalu dituruti. Bahkan ketika aku minta dijodohkan dengan Mas Jaka, Bapak Ibu segera berkunjung ke rumahnya untuk membicarakan soal perjodohan kami. Sialnya, Mas Jaka lebih memilih Maya, bahkan sudah menikah siri di Surabaya. Bodoh!

Dia lebih memilih sampah busuk ketimbang aku si bunga desa yang harum mewangi ini. Sekarang, dia sudah menanggung akibat menolak dijodohkan denganku. Mati.

Dibandingkan Maya, kulitku memang tidak sehalus dan seputih kulitnya. Tapi kulitku juga tidak gosong seperti kebanyakan gadis seusiaku di desa ini. Kulitku bersih, cerah. Dan tubuhku juga selalu wangi karena rajin mandi lulur, dan rajin memakai body lotion.

Sebelum Bapak sakit-sakitan, Ibu sering mengajakku ke salon di kota untuk perawatan. Tapi sekarang, berhubung biaya pengobatan Bapak mahal, kami jadi tidak pernah ke salon lagi. Aku cuma bisa pakai produk perawatan lokal yang dijual di pasar, itu pun dengan harga paling murah.

Kami harus hemat agar gaji Bapak mencukupi semua kebutuhan. Dan prioritas kami saat ini adalah kesembuhan Bapak. Jadi kalau lulur, sunblock atau lotion-ku habis ya terpaksa tidak pakai dulu sampai ada duit lagi.

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang