18. Merawat

328 49 12
                                    

Mobil kemudian  sampai di kosan Dival. Tapi diantara keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan, atau keluar mobil. Dival dengan penyesalannya, dan Haikal dengan emosinya. Haikal memang bukan tipe orang yang marah dengan teriak – teriak. Terlebih dengan perempuan, akan lebih baik jika dia diam, daripada mengeluarkan kata – kata yang malah Ia sesali setelahnya.

Haikal melepas jaketnya yang basah. Rambutnya yang basah juga diusaknya kasar. Dival tetap bergeming dalam posisinya.

"maaf.." ditengah suara isakan yang dalam, dan nafas yang tersengal Dival mengucapkannya.

"harus sampe apa biar lo berhenti kaya gini?"

Dival tidak menjawab. Isakannya semakin Ia tahan dengan menggigit bibir bawahnya, yang mungkin sekarang sudah berdarah, dan bercampur dengan air matanya. Tapi tak bisa Ia rasakan lagi.

"apa susahnya ngecharge handphone? Apa susahnya ngabarin orang?"

Dival menggeleng kuat – kuat. Ia tak bisa membela apapun dari dirinya.

"menurut lo itu berat? Berat buat lo ngabarin orang? Ga perlu gue. kalo lo gamau kabarin gue—

"ga gitu...." Dival memotong ucapan Haikal. Membuka kedua tangan yang sedaritadi menangkup mukanya. Raut wajahnya sudah berantakan. Mata yang membengkak, bibir yang berdarah, rambut yang berantakan karena basahnya air hujan dan tangisannya tadi.

Haikal menatap lurus kedepan. Sulit ketika melihat kondisi Dival sekarang, dia pasti tidak tega. Tapi kali ini Ia harus lakukan supaya tidak lagi ada kejadian seperti ini. Logikanya kali ini memenangkan hatinya.

Ditunggu beberapa saat, Dival tak kunjung menjelaskan. Diantara keduanya juga masih sama – sama  mentralkan emosi. Dival yang masih dengan penyesalannya, tidak mungkin berkelit mencari alasan. Tapi sangat sulit untuknya menjelaskan, karena memang tidak ada hal lain, selain lupa mengisi batre hp. Itu semua murni kesalahannya.

Haikal yang masih dengan emosinya, dan sakit kepalanya sudah mulai terasa lagi. pusing diantara kedua matanya benar – benar tak bisa terelakkan. Haikal menyenderkan dirinya ke jok mobil menghela nafas berat, tangannya mencengkram erat di stir mobil.

"mandi pake air anget. Abis itu tidur."

Hanya kata kata itu yang bisa diucapkan Haikal pada Dival. Dival menggeleng kuat. "gak, gue harus minta maaf dulu."

"percuma. Kalo akhirnya lo ulang lagi."

Sakit. Kata kata itu menyayat hati Dival, tapi apa boleh buat memang kenyataannya seperti itu. pikirannya yang takut merepotkan, malah jadi membebani orang lain.

Tapi Dival tak mampu berkata apapun. Terlalu marah dengan dirinya sendiri, terlalu mengecewakan Haikal, dan menyusahkan orang lain.

Dival menghapus air matanya cepat. Menarik nafas pelan, kemudian menatap ke Haikal. "maaf. Ati ati pulang. Gue sayang sama lo. Maaf." Lalu dirinya keluar dari mobil.

Haikal bisa melihat itu. Dival yang menangis mencari kunci pagar kosan di tasnya. Kemudian berlari masuk ke kosan. Haikal lihat itu. tapi untuk kali ini, lagi lagi logikanya memenangkan pertandingan melawan hatinya. Walaupun hatinya benar benar sakit melihat kondisi Dival.

Tapi keduanya mungkin memutuskan untuk memiliki waktu masing – masing. Saling introspeksi tentang kesalahan mereka.

Berdebat juga butuh tenaga. Dan mereka sama sama tidak dalam kondisi baik. Jangan sampai sesuatu yang baru dimulai berakhir begitu saja karena keegoisan dan emosi sesaat. Atau akan berakhir dengan penyesalan.

Haikal kemudian memukul stirnya kuat kuat. Menarik rambutnya sendiri merasakan sakit di kepalanya, dan perdebatan hatinya setelah marah tadi pada Dival.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang