Hari ini sesuai perjanjian Dival dan Haikal akan mengunjungi Ayah Dival. Semalam setelah Haikal menyanggupi permintaannya untuk menemaninya menemui Ayah, Dival segera menghubungi Om Fahri. Om Fahri menyuruhnya untuk menunggu di café tempat waktu itu mereka berbincang.
Haikal sudah bersiap daritadi, sebenarnya lumayan deg – degan juga kalau ditanya mah. Tapi ada perasaan senang, ketika Haikal menjadi orang yang Dival percaya untuk menemaninya bertemu ayahnya.
Haikal yakin Dival sudah memikirkan keputusannya. Perlu hati yang siap untuk mengetahui segala pertanyaan yang sudah lama Dival simpan. Entah nantinya seperti apa, Haikal harus selalu mendampingi Dival.
"aje gile rapi bener, mau interview kerja lu?" Rendy yang sedang menyeruput teh di depan teras sambil melihat anak – anaknya yang segar setelah semalam diguyur hujan, mengamati Haikal yang sedang memakai sepatunya.
"mau ketemu camer."
"lah? sekalian balik rumah berarti? Eh camer siapa sih?"
"Ayahnya Dival. Gatau juga sih, dimananya. Besok latian sore kan?"
"iya. Tapi paginya kan kelas Pak Bun, nyet? Gila lu kalo ga masuk!"
"gue usahain, deh. Tinggal dulu yaa, jomblo." Haikal mengambil kunci mobil yang tergeletak di lantai kemudian berlalu meninggalkan Rendy.
Sebetulnya memang benar, Haikal sendiri tidak tau persis dimana Ayah Dival. Pun begitu dengan Dival. Yang mereka tahu, terakhir kali berbincang dengan Om Fahri, Dival tau ayahnya berada di rumah sakit.
Sesampainya di kosan Dival. Haikal melihat Dival yang duduk gelisah di depan. Dival sudah siap, lengkap dengan tas dan air putihnya yang selalu Ia bawa. Tangannya memeluk tas dan memainkan gantungan botol minumnya, namun matanya menatap kosong ke depan.
Lamunan Dival terhenti ketika mendengar dering handphonenya. Dival sempat terkaget, kemudian mengangkat telepon yang masuk.
"masih mau diem dulu atau jalan sekarang?" mendengar suara Haikal, Dival kemudian melihat ke arah luar pagar dan benar saja sudah ada mobil Haikal di depan. Tanpa menjawab apapun Dival segera mematikan teleponnya dan menemui Haikal.
"udah lama?" tanya Dival begitu memasuki mobil.
"lumayan. Abis dua kali nonton Titanic."
"lebay!!" Dival memukul kecil Haikal sedangkan Haikal terkekeh.
Bukannya melajukan mobilnya, Haikal menatap Dival. Satu tangannya berada di jok Dival, matanya menelisik ke Dival. Berusaha mencari apa yang sedang Dival rasakan, dan apa yang sedang Dival pertanyakan di pikirannya.
"kenapa, hey?" Tangan Dival yang gelisah, Haikal selipkan ke tangannya yang hangat. Telapak tangannya dengan mudah menangkup kedua tangan Dival yang sedari tadi saling menggenggam.
Dival kemudian menggenggam balik tangan Haikal begitu erat. Haikal bisa merasakan rasa takut dan gelisah dari genggaman tangan Dival yang mencengkramnya kuat. Matanya sorot akan ketakutan dan tarikan nafas yang berat dari tadi Dival rasakan.
Melihat Dival yang begitu ketakutan Haikal menariknya ke dalam pelukannya. Mengelus pelan punggung Dival. mencium kecil puncak kepalanya. "gapapa. Ada gue disini. Gue disini temenin lo. jangan takut, oke?"
Dival mengangguk dalam pelukan Haikal. Tangan Dival sedikit meremas kemeja Haikal berharap ketakutannya hilang seiring dengan eratnya pelukan Haikal.
Keduanya bertahan dalam posisi tersebut cukup lama. Haikal tak henti – hentinya mengelus rambut dan punggung Dival sambil memberikan kecupan kecil di sela – sela rambutnya. Berharap ketenangannya bisa memberikan kekuatan untuk Dival.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fanfictionkumpulan cerita Haikal dan Radiva, bersama teman - temannya. cerita ini murni cerita fiksi. apa yang ada di cerita ini cukup disini aja. terimakasii!🤍