Chan menatap pantulan dirinya di cermin. Jas hitam yang ia kenakan, mengingatkan dirinya akan peristiwa yang membawanya ke dunia ini.
Bohong jika ia tidak merindukan keluarganya. Ia sangat merindukan sosok Cate yang setiap pagi membangunkannya, sosok Arche yang mengajaknya berolahraga sehingga ia bisa mendapatkan tubuh yang menjadi idaman banyak pria di luar sana. Jangan lupakan sosok Luna, gadis pembuat onar yang selalu bisa mencairkan suasana. Jika saja ia di sini sekarang, Chan ingin sekali memeluk adik kecilnya itu.
Helaan napas lberat, ia keluarkan. Gugup? Sudah pasti, pria itu masih sedikit trauma dengan pernikahan. Namun, kali ini sedikit berbeda. Mengingat dialah yang meyakinkan Bulan untuk menikah dengannya membuat seulas senyum tipis, tercetak di wajah tampannya.
Berbeda dengan Chan, Bulan yang kini sedang duduk diam di depan meja rias di dalam kamarnya. Hanya bisa pasrah sambil mengikuti instruksi make up artist yang disewa oleh sang ibu.
Ekspresi khawatirnya terlihat sangat jelas, dirinya benar-benar takut jika Chan akan pergi maninggalkannya. Apalagi, pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta. Sebenarnya, ia sudah menyadari adanya tanda-tanda bahwa pria itu mencintainya. Hanya saja, ia tidak ingin terlalu percaya diri dan hancur ketika semua itu tidak benar.
"Bulan, kamu gapapa kan sayang?" tanya Bunga, sang ibu yang heran dengan ekspresi anaknya.
Bulan menggeleng pelan, gadis itu berusaha menutupi kekhawatirannya dengan mengulas senyum tipis.
"Bentar lagi, kamu bakal jadi istri orang. Ingat, ga boleh pulang atau bangun telat lagi. Soalnya kamu harus ngurusin Chan juga, Bimo bakal masukin dia ke perusahaannya," jelas Bunga sambil menggenggam tangan kanan anak perenpuannya.
Bulan tersenyum sebagai jawaban dari nasihat Bunga. Gadis itu sedang tidak ingin banyak bicara sekarang.
Namun, kehadiran Bianca beserta Lion, keponakannya. Membuat Bulan tersenyum bahagia kemudian merentangkan tangannya untuk memeluk kakak ipar serta ponakan kesayangannya itu."Aunty cantik banget hari ini," kata Lion, pria kecil yang sudah mengenakan stelan jas itu memeluk pinggang Bulan. Mengingat, tinggunya yang hanya sebatas pinggang gadis itu.
"Makasih, Lion juga ganteng banget ko," jawab Bulan sambil memberikan kecupan singkat di pipi pria kecil itu, yang membuatnya malu.
Hal tersebut membuat mereka tertawa geli, bagaimana bisa anak sekecil Lion bisa semalu itu.
"Lan, kamu cantik banget. Ga nyangka udah mau nyusul aja, cepet-cepet dapat momongan yah, biar Lion ada temennya," kata Bianca yang nampak cantik dengan gaun biru pastelnya, walau perutnya sudah semakin membesar.
"Makasih kak, bantuin Bulan yah kalo Bulan bingung. Kakak juga harus hati-hati, jangan capek-capek. Soalnya kan ada kembaran aku di sini," jawabnya dengan tangan yang sibuk mengelus perut buncit Bianca.
Para wanita tengah asik mengobrol, ketika Bimo datang bersama Lion yang entah mengapa sudah berada dalam gendongan pria itu.
Tidak bisa dipungkiri. Walau sudah menjadi seorang ayah, kakaknya masih tetap tampan dan terlihat muda. Bahkan dengan brengos dan dengan menggendong Lion.
Bulan terkekeh begitu Bimo menampilkan ekspresi kesalnya, pria itu pasti baru saja dikerjai oleh putra kecilnya yabg usil.
"Yang, ini Lion nakal banget sih. Masa tadi aku lagi ngobrol sama kolega, dia bagi-bagiin kinderjoy ke mereka? Yakali acara nikahan gede kek gini dapat gituan, aish anak ini," adunya pada Bianca yang hanya terkekeh menatap sang suami.
Bulan semakin ngakak di tempatnya, gadis itu hampir saja meneteskan airmata, kalau ia tidak ingat dengan riasannya.
"Lan, semoga bahagia yah," kata-kata Bunga ketika memakaikan veil atau penutup kepala pengantin wanita padanya.
Ada perasaan haru dan bahagia saat mendengar hal itu. Ia merasa bahwa inilah saatnya ia benar-benar melangkah untuk kehidupannya yang baru. Rasa haru, karena ibu dan ayah ya masih ada untuk menyaksikan dan mendampinginya saat menikah.
"You will be save with him. I love you my pretty little girl," kata Ian, kemudian mengulurkan tangannya, untuk digandeng oleh Bulan.
Bulan mendapat keyakinan ketika mendengar penuturan Ian. Ia tahu, ayahnya sangat susah menaruh kepercayaan. Apalagi kepada orang yang baru dikenalnya. Hal itu menjadi alasannya, memantapkan diri untuk pernikahan ini.
Dari kejauhan, Chan dapat melihat Bulan yang berjalan dengan menggandeng sang ayah. Alunan musik instrumen yang memainkan lagu romantis, membuat suasana semakin terasa bahagia.
Kilasan memori, sejak pertama kali mereka bertemu, hingga berbagai peristiwa yang sudah terjadi, membuat pria itu mengulas senyum tipis.
Detak jantungnya, semakin berpacu kencang, saat tangan gadis itu berpindah ke genggamannya.
Rasanya seperti tersengat aliran listrik, ketika tangannya bertautan dengan gadis itu. Ia sempat tidal rela melepaskan tautan tangan mereka, ketika menerima pelukan hangat dari Ian, ayah gadis itu.
Saat mereka berdiri bersebelahan menghadap ke arah pastor yang ada di altar, rasanya seperti mimpi bagi Chan.
Gadis dengan wajah yang masih tertutup penutup wajah itu, tetap terlihat mempesona.
Hingga tanpa sadar pertanyaan pastor, sedikit mengagetkan Chan.
"Chan Kale apakah saudara meresmikan pernikahan ini dengan sungguh dan iklas hati?"
"Ya, dengan sungguh dan iklas hati," jawab Chan dengan lantang.
"Bersediakah saudara mengasihi dan menghormati istrimu selama hidupmu?"
"Ya, saya bersedia," lagi, Chan menjawab dengan suara lantan tanpa ada keraguan sedikitpun.
"Bersediakah Chan menjadi bapak yang baik kepada anak-anak yang akan Tuhan percayakan kepadamu dan mendidik mereka menjadi orang katolik yang setia?"
"Ya, saya bersedia," jawaban Chan yang kesekian kalinya membuat Bulan menegang di tempatnya. Ia tidak menemukan adanya keraguan dalam setiap jawaban yang diutarakan oleh pria itu.
"Terima kasih atas kesetiaannya," ujar pastor tersebut, pertanda bahwa pertanyaan untuk pria itu sudah selesai.
"Patricia Rembulan, apakah saudari meresmikan pernikahan ini dengan sungguh dan iklas hati?"
"Ya, dengan sungguh dan iklas hati," jawab Bulan, dengan suara yang lebut namun penuh dengan keyakinan.
"Bersediakah kamu mengasihi dan menghormati suamimu selama hidupmu?"
"Ya, saya bersedia," jawab Bulan dengan perasaan yang berbeda. Seperti ada sebuah kebanggan tersendiri, ketika menjawab pertanyaan kedua ini.
"Bersediakah Bulan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepadamu dan mendidik mereka menjadi orang katolik yang setia?"
"Ya, saya bersedia," kata Bulan dengan senyum yang tercetak di wajah cantiknya yang terlihat samar karena masih tertutup veil.
"Terima kasih untuk kesetiaannya,"
Kini suasana hening sejenak, kemudian dengan lantang, Chan mulai membuka suara.
"Dihadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini. Saya, Chan Kale memilih engkau Patricia Rembulan menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu, dalam untung dan malang. Waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya."
***
Annyeong,
Cieee yg digantung pas lagi baper "nya wkwk
Don't forget to vote and coment yah guys..
See you next update😘❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON ~ In The Darkness (END)
FantasyDia yang tak pernah lelah menerangi kami sepanjang malam. Dia yang tetap setia, walau kadang bentuknya tak sempurna, Dia yang membuatku mengerti akan sisi lain, selain kegelapan