Chan baru saja tiba di kediaman mertuanya,ketika Bulan menghampirinya kemudian memeluknya erat. Entah drama apa lagi kali ini, Chan pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Hei,kamu kenapa?" tanya Chan,sambil membalas pelukan istrinya.
Bulan sedikit melonggarkan pelukannya,kemudian mendongkak untuk menatap sang suami.
"Kangen," jawabnya dengan cengiran polos,yang membuat Chan kesal sekaligus gemas dengan tingkahnya.
"Bulan,biarin suami kamu ganti baju dulu dong. Dia pasti capek abis kerja," kata Bunga, yang berada tidak jauh dari mereka.
Bulan sedikit mendengus kemudian melepaskan pelukannya dari Chan.
Wanita itu beranjak menghampiri Bunga, kemudian membantu ibunya menyiapkan makanan di meja makan.Chan terkekeh sambil menggeleng pelan,melihat tingkah istrinya. Pria itu pun beranjak menuju ke kamar Bulan yang sekarang sudah menjadi kamar mereka berdua.
Guyuran air dingin dari shower,tidak membuat pikiran Chan menjadi tenang. Pria itu hanya memejamkan mata,sambil memikirkan tentang mimpinya semalam.
Chan menatap sekelilingnya, ruangan itu sangat tidak asing di matanya. Membuat pria itu memejamkan mata untuk beberapa saat,agar dapat mengingatnya.
Benar,Nirvana. Pria itu sudah kembali dan tengah terduduk di ranjangnya. Anehnya,tidak ada Bulan di sampingnya, lemari pakaiannya pun tidak ada di ruangan itu.
Chan beranjak dari tempat tidurnya,pria dengan piama hitam itu,sibuk mencari keberadaan lemarinya. Karena,hanya itulah satu-satunya jalan untuk menemui Bulan.
Saat tengah sibuk mencari, Chan dikagetkan dengan kehadiran sang ayah. Pria tua itu nampak berbeda dengan baju besi, seolah akan berperang.
"Chan, bersiaplah! Keluarga Will sudah semakin mendekati rumah kita," titah Arche padanya, yang membuat Chan kebingungan.
Pria itu baru saja terbangun dan sibuk mencari lemarinya, lantas ada apa dengan Will dan keluarganya?
Suara ledakan yang terdengar cukup jelas, disusul dengan suara tembakan beruntun, membuat Chan terkaget di tempatnya. Sebenarnya, apa yang terjadi di Nirvana?
"Chan, kamu udah selesai belum mandinya?" tanya Bulan di balik pintu, yang membuat Chan tersadar dari lamunannya.
"Bentar lagi, sayang," jawabnya sambil meneruskan kegiatan mandinya.
Bulan pasti ingin bertanya mengenai rencana mereka, untuk pergi ke Nirvana.
Chan keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Bulan sudah tidak ada di dalam kamar, mungkin ia bosan menunggu Chan.
Pria dengan rambut yang sedikit basah itu, mulai membuka lemari, kemudian mengambil pakaian santainya untuk ia kenakan.
Hari sudah lumayan gelap, ketika Chan keluar dari kamar. Pria itu dapat melihat Bulan, istrinya, tengah membantu sang ibu menyiapkan makan malam mereka.
"Sayang," rengek wanita itu, membuat Chan mengurungkan niatnya untuk bergabung bersama ayah mertuanya yang sedang menonton televisi.
Pelukan erat, diberikan oleh Bulan untuknya. Chan sedikit menggeleng kemudian terkekeh.
Melihat itu, Ian dan Bunga ikut terkekeh. Putri mereka sepertinya telah berubah menjadi lebih manja.
"Bulan ga nyusahin kamu kan, Chan? Selama hamil?" tanya Ian sambil menatap Chan.
"Ga kok, pa. Dia ga banyak mau, cuman makin manja aja," jawab Chan yang membuat Bulan mendongkak kemudian melepaskan pelukannya.
Wanita itu pasti tengah merajuk, dasar ibu hamil.
"Kita makan malam sekarang, yuk," kata Bunga yang sudah berada di meja makan.
Chan duduk di samping Bulan, sedangkan Bunga duduk di hadapan wanita itu. Ian duduk di kursi yang menghadap ke depan.
Makan malam kali ini, berlangsung dengan sangat hangat. Tingkah menggemaskan Bulan, mencairkan suasana. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu, tertawa melihatnya.
"Pa, abis ini aku sama Chan mau ngomong," kata Bulan, yang tegah sibuk membantu ibunya mencuci piring.
Memang, pembantu di rumah mereka diliburkan setiap weekend, alhasil, Bunga atau Bulan akan memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di hari itu.
Ian hanya mengangguk sebagai jawaban, pria itu kembali menonton televisi, sembari menunggu putrinya yang tengah mencuci piring, serta menantunya yang sedang menjawab telpon dari klien.
Setelah selesai membantu sang ibu, Bulan bergabung ke sofa yang diduduki oleh sang ayah. Matanya terus menatap ke arah Chan, yang membuat pria itu mengangguk pelan. Tanda bahwa ia sudah siap mengatakan niat mereka.
Setelah menarik napas panjang, Chan mulai menatap Ian.
"Pah, aku dan Bulan ingin meminta izin. Kami ingin menemui keluargaku, aku ingin mengenalkan Bulan pada mereka. Apakah boleh?" tanya pria itu tanpa basa-basi.
Ian sedikit terkejut, kemudian dengan tenang, pria itu mematikan televisi lalu beralih menatap menantunya.
"Tentu, papa ga bakal larang kalian untuk ketemu orangtua kamu, Chan. Tapi, mereka tinggalnya dimana? Di Jakarta juga, atau di luar negri?" jawab Ian, balik bertanya.
Bulan sedikit gugup mendengar pertanyaan sang Ayah.
'Bukan luar negri, pah. Luar nalar! Papa pasti bakal ngetawain kita kalo dijelasin,' batinnya sambil menatap Chan dengan khawatir.
Chan menutup matanya perlahan sambil mengangguk pada Bulan. Sudah saatnya pria itu untuk memberitahukan segalanya pada orangtua istrinya, karena kebohongan sama seperti bangkai. Walaupun disembunyikan dengan rapat, akan tetap tercium baunya. Walaupun mereka merahasiakannya, cepat atau lambat, pasti akan terbongkar juga.
"Akan kuceritakan semuanya. Aku Chan Kale, pria yang terjebak di dunia bernama Jakarta ini, karena melarikan diri dari pertunanganku. Ayahku adalah Arche, dia seorang panglima di sebuah negeri tanpa matahari, bernama Nirvana. Itulah tempat tinggalku, tempat dimana aku lahir dan tumbuh. Mungkin, itu terdengar seperti sebuah lelucon. Atau mungkin, kalian menganggapku gila. Tapi, dengan segala keyakinan aku tetap mengatakan bahwa faktanya adalah itu. Aku manusia, hanya saja, berasal dari dunia yang berbeda dengan kalian, terutama Bulan. Dibalik itu semua, aku bersyukur dipertemukan dengan Bulan. Dialah yang membuatku tahu akan cinta, yang selama ini tidak pernah ku ketahui. Perasaanku padanya bukanlah sebuah sandiwara, aku tulus menyayangi dan mencintainya. Maaf, karena membohongi kalian semua selama ini. Aku siap menerima konsekuensinya, tapi tolong biarkan aku pergi ke Nirvana bersama Bulan," jelas Chan dengan ekspresi serta nada penuh keyakinan. Hal tersebut membuat Bulan semakin takut, berbeda dengan ekspresi penuh amarah milik Ian dan keterkejutan Bunga.
"Nirvana? Tempat apa itu?" tanya Bunga, setelah keheningan yang cukup lama.
Ian masih beluk bersuara, pria itu hanya menatap tajam ke arah Chan dan Bulan bergantian.
"Nirvana adalah sebuah negri, Ibu. Itu hampir sama seperti Jakarta, hanya saja dipimpin oleh seorang panglima, bukan raja atau yang kalian sebut sebagai presiden," jelas Chan dengan tenang, hal itu membuat Bunga kembali terdiam, sambil mencoba mencerna maksud dari menantunya.
Sedangkan, Bulan sudah sangat gusar di tempatnya. Ayahnya tidak pernah terlihat semenyeramkan ini, padahal pria tua itu masih belum membuka suara, tapi auranya menyeramkannya saja, sudah bisa membuat Bulan kesal.
***
Annyeong!
I'm back again😁Hope you like this part, after waiting so long
If yoh enjoy it, don't forget to give coment and vote
See ya
Hi—Loves
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON ~ In The Darkness (END)
FantasyDia yang tak pernah lelah menerangi kami sepanjang malam. Dia yang tetap setia, walau kadang bentuknya tak sempurna, Dia yang membuatku mengerti akan sisi lain, selain kegelapan