9,5. Salah Arti

296 146 246
                                    

Banyak hal yang berlalu terlalu cepat bahkan untuk sempat ditelaah oleh benaknya. Gabriel sebenarnya mengerti Sivia, namun hatinya terlanjur sedikit kecewa dengan sikap impulsif gadis itu.

Mungkin Sivia pernah mengatakan hal ini, tapi memang betul adanya -hanya segelintir orang saja yang dapat mengerti dirinya, dan Gabriel yakin Sivia akan selalu ada dalam daftar tersebut.

Namun, ya. Terkadang hal-hal di masa lampau menempah seseorang menjadi lebih keras dari yang lain. Membangun sisi ambisi demi melindungi orang lain. Berekspektasi tinggi pada pandangan yang belum pasti.

***

[Kilas Balik: Antara Gabriel dan Sivia]

"Hari ini Ibu mau bagikan ujian matematika kalian hari Senin lalu." Wanita cantik itu meratakan kumpulan kertas yang siap diserahkan ke pemiliknya.

"Duh, remedial pasti ini."

"Gak mau liatlah aku."

"Pasti dia lagi yang nilainya perfect."

Ruang kelas 4B itu mulai ricuh. Bisik-bisik menanggapi ujian yang akan dibagikan terdengar dari baris depan hingga belakang.

Sang guru menghela napas, selalu seperti ini. Anak-anaknya ini selalu berkomentar sebelum melihat hasil.

"Semua tenang dulu, kalau gak Ibu gak bagi ujiannya," ancamnya seraya berlagak seolah-olah akan menyimpan kembali setumpuk kertas di tangannya.

Dan hasilnya? Ya, seperti yang kita duga dari siswa-siswi kelas empat SD. Sontak satu kelas diam, menunggu hasil kerja keras mereka masing-masing.

"Oke, diam seperti ini dulu, ya. Ibu mulai dari nilai paling tinggi."

"Dia lagi. Bosan."

"Gak usah dibacain, deh, Bu."

"Gabriel lagi, tuh."

"Semua tenang dulu." Perempuan paruh baya itu mengelus kepalanya yang mendadak pusing. Mengurus dua puluh delapan orang dalam sekaligus bukan hal yang mudah. Coba saja sendiri jika kalian tidak percaya.

Sang guru mengangkat kertas pertama. "Selamat, Gabriel. Nilai kamu sempurna. Pertahankan terus, ya."

Air muka Gabriel tidak sedikit pun bergerak. Tubuhnya bangkit, berusaha secepat mungkin berjalan lurus dengan datar tanpa memandang seisi kelas. Si pemilik nama mengambil kertas ujiannya, sebentar tersenyum hormat.

"Iya. Makasih, Bu."

Selepas itu, namanya diikuti dengan nama teman-teman sekelasnya dari bibir sang guru.

Baru saja tubuhnya berhasil ia dudukkan di kursi, beberapa tatapan dari sekelilingnya membuatnya risih.

Dengan segenap keberanian (atau mungkin sedikit emosi), ia menatap satu-persatu temannya.

"Aku gak niat buruk, gak ngapa-ngapain. Kenapa liatin aku gitu?" Gabriel menunggu jawaban dari mereka.

Salah seorang dari mereka menggeleng. Memilih berbisik untuk rombongannya sendiri, walaupun faktanya tempat duduk mereka yang berdekatan membuat Gabriel mendengar jelas cemooh mereka.

"Anak emas guru, mah, lain."

Yang lain menyahut, "nge-jilat guru, ya? Gak mungkin nilainya gak pernah drop kalau gak gitu."

"Less-effort. Cari muka mentang pinter."

Hei, tolong. Jangan salahkan Gabriel. Lagipula, apa salah dirinya sekarang? Salahkah nilainya baik? Apakah bersikap hormat pada guru adalah hal yang tabu? Atau mungkin karena 'perhatian dan kepercayaan' para guru padanya? Atau apa?

Haphephobia | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang