5. Fix You

349 173 275
                                    

Kedua mata jernih perempuan itu terpejam perlahan. Meredakan denyut kepala akibat terlalu keras berspekulasi.

Ini lumayan meresahkan. Ia harus menyelidiki sendiri. Ia harus tahu sesegera mungkin yang ia bisa, atau sosok rapuh yang selalu menutup diri itu akan kembali ke titik terendahnya. Harus.

***

"Shill," panggil Alena. Sosok yang seharusnya menjadi penguat Shilla itu hari ini terlihat lelah. Pikirannya menumpuk.

"Ya, Kak?"

Alena mengelus kepala Shilla kemudian menepuknya pelan. Ia tak tahu akan berhasil atau tidak, tapi Alena hanya mencoba menyalurkan semangat pada Shilla.

"Semangat!" Alena mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke udara. Bibirnya mematrikan senyum yang baru bisa ia dapatkan pagi ini, setelah selama satu malam memikirkan jalan keluar untuk masalah haphephobia gadis itu. Hei, menjadi seorang psikolog tidak semudah keliatannya, 'kan?

Perlahan, Shilla tersenyum. Alena selalu berhasil membantunya mengatasi perasaan yang terkadang bahkan dirinya sendiri tak bisa atasi.

"Ayo, pergi bersama."

"Terima kasih, Kak Alena."

Keduanya masuk ke mobil keluaran baru yang terparkir di halaman rumah. Demi menghilangkan rasa bersalahnya pada Shilla, Alena telah memutuskan untuk mengambil waktu mengantarkan anak ini ke sekolahnya. Shilla belum pulih, trauma yang terulang dua kali tidak mungkin tidak mengusiknya. Dan akan berbahaya juga jika ia dibiarkan pergi sendiri sepagi ini.

Tidak perlu menunggu lama, sebuah mobil kini telah membelah kesunyian pagi. Keduanya, baik Alena maupun Ashilla, masih saja berangkat dengan penuh beban akan kisah yang bertambah rumit.

***

Masuk ke ruang kelasnya, Shilla mendesah pelan. Probabilitas hal ini terjadi hanya satu per sekian puluh siswa. Masalahnya, kenapa harus sungguhan terjadi sekarang, sih?

Ia kira, berangkat lebih pagi bersama Alena akan membuatnya memiliki waktu untuk menenangkan diri sendirian. Rupanya, ada manusia lain di sana yang tampak menunggu kehadirannya.

"Ashilla."

Dear Gabriel, tolong pagi-pagi jangan ganggu ketenangannya. Shilla butuh itu demi konsentrasi belajar sehari penuh.

"Untuk yang kemarin, aku mau serius ngomong sama kamu."

"Ya?"

Napas Gabriel terdengar begitu pelan.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku gak maksud .... "

Shilla mengangguk kaku, tapi Gabriel tau jelas wajahnya gugup entah karena apa.

"Shill? Jawab aku."

Hanya diam tidak cukup menyelesaikan masalah, Shill. Batinnya menyerang melanjutkan.

Lagi, kepala itu saja yang seakan memberi jawaban. Respon lain? Tidak ada. Gabriel sebal sendiri jadinya.

"Kok kamu gak mau jawab, sih? Kamu gak mau maafin aku?"

Haphephobia | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang