11. Karena Waktu

319 143 261
                                    

Gabriel membeku. Berapa detik mereka habiskan untuk saling menatap? Gabriel berdoa, itu tidak terlalu lama.

"Jawab, Yel."

Menyangkal? Percuma. Gabriel harus pikirkan jalan keluar secepatnya. Di sini. Sekarang juga.

"Say something, Gabriel."

"If that's the case, then stay with me."

Angin malam membelai pelan, menerbangkan rambut panjangnya ke satu arah yang sama.

Shilla tidak mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat itu. Yang ia skenariokan di dalam tengkorak kecilnya, Gabriel akan menjelaskan bagaimana ia bisa mengetahui semua tentang dia. Ia tadinya memerlukan itu. Tapi, Shilla rasa, sekarang tidak lagi.

"Kenapa harus kamu, Yel?" gumamnya pelan.

Kenapa aku harus jatuh cinta sama kamu?

Sedari awal mungkin Shilla tidak sadar. Pertanyaan yang terkesan sederhana itu bisa menjadi duduk permasalahannya dengan Gabriel.

"Karena ini demi kita, Shill. Aku akui, aku menyerah lihat kamu jauhin aku kayak gini. Ini buat aku terasa amat susah." Gabriel menengadahkan kepalanya yang terasa memberat.

Aku juga, Gabriel.

Tapi lagi-lagi, tiga kata penuh makna itu hanya sampai di ujung lidahnya.

Laki-laki tampan itu berdiri membelakangi Shilla. Matanya menatap langit tanpa bintang.

Ada hal yang Gabriel ingin tahu. Kesimpulan dari rasa penasaran yang tengah menggebu.

"Kenapa kamu mencoba melakukan apa pun yang kamu mau tanpa aku?" Intonasinya terdengar miris. "Karena fobia kamu? Iya?"

"Bukan." Ya, fobianya sekarang memang bukan masalah utama.

"Lalu kenapa?"

Mengenai itu, putri Minataka ini enggan menjelaskan secara mendetail. Ia takut, setelah perasaannya terungkap, yang ia dapat tidak sesuai bayangannya. Meskipun dari kata-kata, ekspresi, dan gelagat Gabriel, Shilla tahu ia punya satu kesempatan kecil.

Sebuah alibi lolos dari bibirnya, tidak sepenuhnya benar serta tidak sepenuhnya salah. Pilihannya netral.

"Karena aku gak mau hidup orang lain jadi rumit gara-gara aku."

Tak terima dengan pembelaan Shilla, bibirnya tersenyum sinis. Pemikiran gadis delapan belas tahun di belakangnya itu sungguh ironis.

"Banyak orang yang ada buat kamu, Shilla." Tegas, namun suaranya bergetar setelahnya.

Shilla tidak menjawabnya. Namun suara lain mencekam dada laki-laki keras kepala itu.

Kali ini, Gabriel yakin, ia tak akan mampu membalikkan tubuh ke arah Shilla. Atau memberi ketenangan lewat peluk, ucapan, dan lain sebagainya.

Tentu, Gabriel tidak akan mampu melihat Ashilla kembali menangis karenanya. Isak yang baru saja ia dengar membuat Gabriel terpukul.

Diremasnya dua telapak berkeringat itu di dalam saku kiri dan kanannya. Pemuda yang akrab disapa Yel itu gusar. Ketakutan akan kehilangan Shilla membuat satu bulir air matanya lolos dari kelopaknya. Ia tak peduli akan dicap sebagai laki-laki tempramen yang berhati bak Hello Kitty, yang terpenting sekarang hanya perasaan Shilla.

Haphephobia | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang