3. Dua Sisi Gabriel

415 189 362
                                    

Bunyi pintu yang tertutup rapat serta merta membuat gadis itu menggerakkan kepalanya. Masih dalam posisi menidurkan kepala di meja, Shilla menghadap pintu putih bersih itu.

Sebelum benar-benar tertidur, kalimat yang setiap hari ia tanyakan pada dirinya sendiri menyeruak di benaknya.

Kapan dirinya dapat benar-benar lepas dari fobianya?

***

Gadis itu perlahan mulai menegakkan diri. Tubuhnya terasa pegal akibat gerak gelisahnya selama tidur. Kalau saja ia tidak meminum antidepresan dari Alena kemarin, Shilla yakin, tidurnya akan lebih buruk dari ini.

Kembali ke sekolah lagi, Shilla sebenarnya cukup ragu. Namun tidak lucu bukan jika ia keluar dari sekolah setelah nyawanya di sana hanya berusia satu hari? Apa kata teman-temannya, Sivia, dan bahkan gurunya?

Mustahil, ia harus tetap bersekolah.

Ruang tamu yang baru kemarin berpenghuni selain dirinya kini kosong. Memang, kemarin ada beberapa selipan 'perdebatan' antara Shilla dan Alena.

"Aku akan menginap di sini. Kamu bisa kembali gak stabil tiba-tiba, 'kan?"

Shilla, yang pada saat itu baru saja reda dari gemetarnya, menggeleng.

"Gak. Kak Alena pulang aja. Aku gak apa, kok. Istirahat sebentar, besok udah pulih buat sekolah lagi. Besok aku pergi sendiri ke sekolah, ya, Kak."

Alena menghela napasnya. Gadis ini memang sulit untuk ditebak. Menjadi psikiaternya membuat ia tahu bahwa Shilla selalu menyembunyikan apapun yang ia rasakan - mungkin itu sebabnya terkadang perlu sedikit tekanan agar Shilla bisa jujur padanya.

"Ya, sudah. Aku ikut kamu aja. Besok sepulang kamu sekolah, mungkin aku bakal ke sini untuk psikoterapi selanjutnya."

Kira-kira seperti itu. Dengan demikian, pagi ini ia sarapan sendirian dan akan berangkat sendiri pula.

***

"Pagi, Shill."

Sedikit tersenyum, Shilla mendudukkan diri. Sivia hari ini pergi terlebih dahulu darinya.

"Pelajaran pertama hari ini Biologi, ya?"

Sembari memeriksa sekilas pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan, Sivia mengiyakan pertanyaan Shilla.

"Bawa tugasnya, 'kan, Shill?"

Buku biru terangkat ke udara, "selesai, kok."

Ketika Sivia melanjutkan koreksian tugasnya, gadis muda itu meringis dalam hati. Teman lamanya itu tidak tahu, bahwa Shilla baru mengerjakannya subuh tadi. Saat ia bangun malam hari, ia sempatkan mengerjakan PR sebisa mungkin lalu tidur lagi hingga pagi tadi.

"Kemarin kamu beneran gak apa, 'kan, pas pulang sendiri? Aku gak enak, nih."

Enggan mengakui kejadian yang ia alami, Shilla memangku tangan di meja.

"Udah, ah. Gak apa. Santai aja."

"Oh iya, ngomong-ngomong kalau mau ... " Keduanya memulai obrolan seputar sekolah. Shilla tentu masih perlu lebih banyak belajar tentang sekolah regulernya.

Perhatian Ashilla terhadap konversasinya dengan Sivia seketika buyar. Seorang yang tidak ingin Shilla lihat dalam waktu dekat ini berjalan menenteng tas ransel yang nampak kosong di bahu kirinya.

"Hai, Yel!" Ditambah dengan sapaan dari Sivia. Ah, bisa gawat.

Yang dipanggil mengangkat bahunya. Sedikit menaikkan bibirnya, memasang muka bersahabat.

Haphephobia | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang