"Joonie-yya, ini sudah lima tahun berlalu, nenek mohon jangan seperti ini terus," wanita dengan kulit penuh kerutan itu membelai lembut kepala cucunya. Semua kasih sayang telah ia tumpahkan bahkan selama lima tahun ini ia terus berusaha menghibur cucu semata wayangnya itu.
Hari dimana pria itu menyerah dengan perjuangannya sendiri. Belum sempat mengutarakan apapun, tapi ia malah harus menelan kepahitan yang tak terkira. Kehilangan sekaligus kesakitan. Cukup berat bahkan sangat sulit untuknya berdiri tegak bak seorang wibawa yang selama ini ia jalani. Kekuatannya hanya mampu bertahan pada titik sekarang ini, terdiam tanpa melakukan apapun.
"Namjoonie, kau tidak boleh seperti ini terus. Cobalah membuka hatimu pada yang lainnya,"
"Apa yang harus aku lakukan, nenek? Aku seperti terjebak dalam nuraniku sendiri." jawabnya lemas dengan tangan yang masih saling tertaut di depan lututnya yang disilangkannya. Semenjak lima tahun silam, Namjoon memutuskapn untuk hengkang dari tempatnya mengajar, dan lebih memilih untuk menemani sang nenek di desa, dan sedikit tidak belajar tentang teh tradisional yang khas itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sang nenek hanya tersenyum, lalu mengulurkan tangannya untuk membelai surai Namjoon yang tebal itu. "Keluar dari nuranimu itu. Seseorang membutuhkan keegoisan untuk mencapai kebahagiaannya. Jika memang kau tak bisa dengannya, kau masih bisa bersama yang lainnya,"
"Entahlah—" Namjoon memalingkan mukanya, menyembunyikan gurat merah berkat kesedihan yang kembali mencuat. "Sepertinya aku tidak bisa." tekannya parau.
"Kau bisa!" sang nenek ikut menekan semangat. "Tidak ada yang tidak bisa di lakukan oleh cucuku. Aku yakin kau bisa, Joonie-yya..."
"Tapi nenek,"
"Tidak ada tapi Namjoon. Kau harus berusaha melakukannya, dan nenek akan selalu mendukungmu." sergahnya terlalau cepat.
"Kalau begitu aku tak ingin yang lain, aku hanya ingin nenek saja."
Sang nenek yang langsung merengut dengan menarik telinga Namjoon agak keras. "Kau kira aku akan hidup selamanya di dunia ini, cucu bodoh!" katanya dengan sedikit kesal. Namjoon pun mendongak seketika dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah ketidak setujuan.
"Katakan jika nenek tidak akan meninggalkanku, bukan?" ia benar-benar meminta dengan manik hazel yang dibulatkan sendu, bak anak anjing yang meminta belas kasih.
"Aku tidak akan, tapi keadaan yang akan—" ujarnya halus disertai senyum penuh lipatan di kulit sekitar bibirnya. "Kau jelas tahu, jika usia manusia tidak akan bisa diterka. Aku bisa saja berkeinginan untuk menemani cucuku yang kusayang ini hingga kau memiliki cucu kelak. Tapi kurasa itu hal yang mustahil, bukan?"
Namjoon dengan binar yang sudah terpupuk air mata itu hanya menggangguk tak percaya. Dalam dirinya ia selalu menempatkan sang nenek dalam daftar utama orang terkasihnya. Namun bodohnya ia yang tidak memikirkan hal itu. Harusnya ia sudah tahu, tapi ia hanya memikirkan apa yang ia inginkan.