Rutinitas pagi ala pengangguran dimulai. Dulu saat awal aku tinggal sendiri di Jakarta setelah lulus kuliah yang konon ceritanya untuk mencari jati diri (ceilah jati diri, gak sekalian mencari kitab suci) dan belajar untuk hidup mandiri, ya walaupun pada akhirnya tetap tinggal di apartemen pribadi pemberian ayah. Kegiatan seperti menyeduh kopi dan menikmati aromanya dari asap yang mengepul ditemani seporsi sandwich tuna mayo dan buku 'How To Be Rich' karya Napoleon Hill adalah sesuatu yang kusebut seni menikmati hidup di awal bulan, sebelum menjadi ‘how to survive' di akhir bulan.
Aku sedang menyeduh secangkir kopi hitam di kitchen set, saat mas Pras dan mbak Danti keluar dari kamar bersama.
"Pagi." Sapa mbak Danti cerah.
"Bonjour."
Jawabku dengan senyum yang tak kalah cerah. Secerah senyum model iklan pasta gigi.Mbak Danti terkekeh, "Gaya banget sih bonjour-bonjour segala."
"Biar sarapan kita ala Prancis banget Mbak."
"Sarapan ala Prancis banget harusnya sih ada secangkir esspreso dengan croissant panggang atau baguette ya, terus ini nasi goreng petai, sarapan ala Prancis bagian mananya?"
Mbak Danti menunjuk ke arah nasi goreng yang sempat kubuat tadi sebelum menyeduh secangkir kopi hitam, masih dengan senyum gelinya.
"Karena croissant dan baguette tidak ramah diperut warga Indonesia yang terbiasa sarapan dengan porsi kuli, jadi kita sarapan nasi goreng aja biar lebih aman dan Mbak nggak akan pingsan karena kelaperan."
Aku menjawab dengan senyum percaya diri yang masih belum luntur. Mas Pras yang sudah duduk di kursinya hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya seolah berkata "perdebatan pagi macam apa ini."
Aku menawarkan mbak Danti secangkir kopi yang hanya dijawab, "Nope. Mbak nggak minum kopi apalagi pagi-pagi."
"Kopi Mas?" Tawarku pada mas Pras.
"Boleh, gulanya satu sendok teh ya."
Tanpa banyak bicara aku segera menuangkan kopi kedalam gelas kemudian memasukkan gula satu sendok teh lalu dengan perlahan menuangkan air panas kedalamnya sambil diaduk searah jarum jam. Like a professional do, hehe.
"Loh kamu minum kopi Mas? Kok aku nggak tau?"
Kudengar suara mbak Danti bertanya pada suaminya."Kamu cuma buatin aku teh tanpa pernah nanya aku mau minum kopi atau enggak."
Mas Pras menjawab dengan santainya. Seolah jawabannya barusan tidak malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain dibenakku. Tidak ada jawaban lagi dari mbak Danti. Aku merasa sedikit aneh sebenarnya tapi ya sudahlah abaikan saja. Lagipula mana ada rumahtangga yang sempurna kan.
Aku meletakkan secangkir kopi yang sudah kuseduh dihadapan mas Pras, setelah mengucapkan terimakasih dia menyesap kopi dengan pandangan yang sejak tadi masih tak lepas sedikitpun dari tab di pangkuannya, kulihat hanya ada grafik-grafik di layarnya.
Setelah hening beberapa saat, mbak Danti kembali bersuara, "Oh iya Yu, Mbak barunya Dzaky baru datang jam sepuluh nanti. Mbak minta tolong jaga Dzaky sampai Mbaknya datang ya? Sekalian tolong cek data diri yang dia bawa dari yayasan."
"Siap. Mbak kerja dengan tenang biar Dayu yang jaga Dzaky sampai baby sitter nya nanti datang."
Mbak Danti mengacungkan ibu jarinya ke atas.
"Terus sekarang rencana kamu gimana Yu? Sudah ngasih kabar Ibu sama Ayah? Jangan buat mereka khawatir."
Aku bergumam sebelum menjawab, "Dayu sudah ngasih kabar sama Ayah kalau Dayu ada disini. Dayu belum punya rencana jangka panjang sih Mbak, tapi rencana jangka pendeknya mungkin Dayu mau cari kerja disini dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMULAKRA [Completed]
ЧиклитBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...