<Flashback On>
Tadi malam saat makan berdua dengan Rere di Cafe dekat kompleks yang rencana awalnya hanya untuk makan dan mendengarkan curhatannya saja, ternyata aku dimanfaatkan untuk menemaninya lembur juga. Tiba-tiba Rere menyampaikan berita yang sangat amat ngeri-ngeri sedap ditelingaku."Yu, Lo tau nggak kalau si Meisie diciduk BNN?"
"Hah? Seriusan? Ini Meisie temen lo itu kan?"
"Temen lo juga kali." Rere memutar bola matanya.
"Kok bisa terciduk BNN gimana ceritanya Re?"
"Beberapa hari lalu ada petugas BNN datang ke kantor gue untuk membekukan rekening salah satu nasabah yang terduga melakukan pencucian uang, dia ini salah satu sindikat penjualan Narkoba skala besar Yu, yaa bisa dibilang kayak mafia gitu lah."
"Terus terus??"
"Dia ini punya satu perusahaan alat berat di Medan dan satu lagi perusahaan gelap di Thailand untuk menyamarkan sumber dana yang notabene hasil penjualan narkotika, nah ternyata si Meisie ini sekretarisnya di Medan. Dan uang itu nggak seluruhnya diinvestasikan ke perusahaan itu, sebagian besar juga di transfer ke rekening pribadi bawahannya termasuk si Meisie ini, bahkan nggak cuma itu, beberapa dana juga di transfer ke rekening pribadi keluarga bawahannya."
Aku tidak bisa menutupi keterkejutanku, ya aku tau sih Meisie ini memang jelmaan Maleficent tapi aku nggak nyangka aja ternyata dia sebrengsek itu.
"Demi apa Lo Re?"
Lagi-lagi Rere memutar bola mata malas. "Demi wafer tango yang tebalnya ratusan."
"Astaga, nggak nyangka gue Re sumpah."
"Nah, ada lagi nih yang menarik Yu. Dengar-dengar dari salah satu mas-mas ganteng petugas BNN yang nanganin kasus ini, ada satu orang yang diduga terlibat langsung sama sindikat ini, lo mau liat nggak orangnya, cantik banget loh padahal."
Rere bergerak menggeserkan laptop di mejanya ke arahku dan menampilkan satu foto perempuan yang sangat familiar. Aku menggaruk daguku yang tak gatal. "Gue kok kayak pernah liat ini perempuan ya Re?"
Mata Rere membelalak. "Seriusan lo Yu? Dia ini masih diselidiki banget sih Yu, denger-denger dia nggak cuma terima dana gelap di rekeningnya tapi juga terlibat penjualan narkotikanya langsung di club-club dan lounge gitu. Tinggal nunggu bukti operasi tangkap tangan dari tim intelijen BNN aja, ini juga gue denger gosipnya dari mas-mas ganteng yang gue bilang tadi."
"Re..Re, sekarang gue ingat, ini tuh si midi skirt merah. Gue pernah ketemu dia di kantor Mas Pras." Aku memukul-mukul lengan Rere heboh.
"Aduh duh, iya tapi nggak pake gebukin gue juga dong."
"Eh iya maaf. Hehe maklumlah excited banget gue, ini perempuan ngeselin banget abisnya, masak waktu itu liatin gue kayak lagi ngeliat orang utan pakai baju terus masuk kantor. Songong banget tatapannya tuh Re, nggak suka gue."
"Nah lo bakal lebih excited kalau tau satu fakta yang membagongkan ini Yu."
Aku semakin mencondongkan tubuhku ke arah Rere, "Kasih tau sekarang atau lo gue lempar ke laut merah."
"Eits sabar dong, lagian lo kenapa jadi doyan dengar gosip sih." Rere terkekeh.
Aku mendengus. "Karena ini orang membekas banget saking menyebalkannya Re."
"Jadi Yu, BNN tuh mulai curiga sama keterlibatan nih orang karena ternyata dia ini kakak kandungnya si Meisie ini."
"Hah? Serius lo demi apa?"
Rere memukul lenganku. "Ya biasa aja dong suara lo Yu, rahasia Negara nih. Lo liat semua orang jadi liat ke arah kita."Aku melihat ke sekitar, ternyata benar kata Rere. Aku nyengir kuda. "Hehe.. maaf maaf. Wah pantesan aja ya mereka sama brengseknya, satu gen sih."
<Flashback Off>
Aku mendorong bahu Nadin yang bergetar setelah berhasil membungkam mulutnya. Cengkeraman tangannya dibahuku otomatis terlepas. "Sekarang kamu mengerti kan sedang berhadapan dengan siapa?" Ucapku seraya tersenyum sinis.
Nadin terdiam seribu bahasa, tidak bergerak sedikitpun persis seperti patung pancoran. "Piss off bitch." tak lupa kuhadiahkan jari tengah untuknya sebelum pergi berlalu dari hadapannya dengan langkah anggun.Sebenarnya memaki orang seperti itu bukanlah gayaku sama sekali, tidak elegan aja menurutku. Tapi terkadang ada beberapa orang yang memang pantas menerima makian semacam itu.
Aku sudah berdiri tepat di depan kubikel Tere, lagi-lagi ia tampak terkejut melihatku. "Mbak Dahayu barusan keren banget." Kepalanya menggeleng dengan sepasang mata yang membulat lebar, kedua ibu jarinya terangkat tinggi-tinggi.
Aku mengernyitkan dahi tidak paham maksudnya. "Keren apa sih Mbak Tere?"
"Yang barusan itu, asli keren banget. Persis kayak adegan di drakor-drakor." Bahkan sekarang dia sudah menepuk-nepukkan kedua sisi tangannya.
"Mbak Tere ngintip ya?"
"Hehe maaf ya Mbak, tapi tadi sama Pak Pras juga kok beneran deh." Tanpa banyak bicara aku langsung masuk ke dalam ruangan mas Pras.
Mas Pras yang sedang duduk di kursi kerjanya langsung berdiri begitu melihat aku masuk, kulipat kedua lenganku di depan dada. "Mas barusan mengintip kan?"
Dengan langkah cepat dia mendekat ke arahku, menyentuh kedua lenganku yang bertaut kemudian melepaskannya lalu bergerak turun untuk menggenggam jemariku. "Mas cuma takut kamu kenapa-kenapa."
Aku mendengus sebal. "Kan Anin udah bilang, Mas diam disini sampai Anin datang."
Mas Pras malah tersenyum kemudian menarikku ke dalam pelukannya. "Iya maaf." Suaranya yang lembut, hangat tubuhnya yang menenangkan membuatku seperti pulang ke rumah untuk mengisi kembali energiku yang sudah hampir habis, terlalu banyak hal besar yang terjadi hari ini.
Mas Pras mendudukkanku di atas sofa, kemudian ikut duduk sambil menatapku dalam. "Mau minum?" Tanyanya lembut.
"Boleh."
"Yaudah Mas suruh Tere bawain minuman kesini dulu ya."Aku hanya mengangguk. Kemudian Mas Pras keluar ruangan lalu kembali setelah beberapa saat. Kuurut pangkal hidungku yang berdenyut.
"Pusing Nin?"
"Sedikit."
"Mau Mas pijitin?"Itu tawaran yang sangat menggiurkan, tapi aku tidak boleh tergoda sekarang.
Aku menggeleng. "Nggak usah Mas, sebentar juga hilang."
Dia masih menatapku dalam. "Yaudah kalau nggak mau dipijit, gini aja.." Sedetik kemudian bibirnya sudah menempel di dahiku, mengecupnya lembut dan dalam. Hangat nafasnya menyapu seluruh permukaan wajahku."Mas!!" Sontak kupukul lengannya.
Dia malah tertawa. "Udah sembuh kan?"Ya ampun Mas Pras, kalau mau buat orang serangan jantung liat-liat tempat dong.
Mas Pras menangkup kedua pipiku. "Mas masih nggak nyangka liat kamu sekeren tadi."
Aku mendengus sebal, ya iyalah siapa juga yang nggak akan sebal kalau melihat adegan yang... Ah sudahlah.
Tere masuk dengan secangkir teh chamomile di atas nampan, setelah meletakkannya di atas meja ia langsung keluar ruangan. Tau banget Mas Pras teh kesukaanku.
“Nih, minum dulu.”
Kemudian segera kusesap beberapa teguk teh dalam genggamanku dan meletakkannya lagi di atas meja.
Mas Pras menarik jemariku lagi. "Anin, biar Mas jelaskan soal tadi ya."
"Nggak usah Mas."
Mas Pras menggeleng. "Mas harus jelaskan ini sama kamu Nin, Mas nggak mau kamu salah paham."
"Anin bilang nggak usah Mas, Anin nggak butuh penjelasan apapun. Sekali liat juga langsung tau dia wanita seperti apa." Aku masih tak menatapnya.
Mas Pras tersenyum sambil memainkan ujung rambutku dengan jemarinya.
"Yaudah kalau kamu nggak butuh penjelasan. Berarti sekarang giliran Mas yang tanya. Kenapa Aninnya Mas tiba-tiba datang kesini."
Aku jadi teringat lagi alasan utamaku datang kemari. Kuhirup oksigen dalam-dalam kemudian menatap wajah mas Pras. "Anin sudah tau semuanya Mas, Anin tau kalau Dzaky sebenarnya anak yang Mas Pras dan Mbak Danti adopsi kan? Kenapa Mas? Kenapa kalian tega membohongi kami semua selama ini?"
Wajah Mas Pras menegang. "Mas sudah ingatkan kamu untuk tidak mencari-cari tau kan."
"Anin nggak mencari tau sama sekali Mas, semuanya datang sendiri."Kemudian mengalirlah semua cerita tentang apa saja yang sudah terjadi satu harian ini. Berbagai macam ekspresi mas Pras tunjukkan sepanjang aku bercerita. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk yang kesekian kalinya. Diusapnya dengan kasar wajahnya yang gusar.
"Benar, Dzaky memang bukan anak kandung kami, awalnya kami mengadopsinya hanya untuk menutupi kecacatan rumah tangga kami. Anin, Mas akan jelaskan semuanya sama kamu, karena Mas merasa sudah saatnya kamu tau ini semua. Jadi tolong dengarkan Mas baik-baik ya?" Aku mengangguk, menyanggupi kata-katanya.
"Sebelum menikah dengan Danti Mas sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun, bahkan dengan Danti. Sesaat sebelum kamu datang membawa surat pemberitahuan dari UGM, Ayah ajak Mas bicara, beliau ingin Mas segera menikahi Danti katanya. Keluarga khawatir kalau tidak akan ada yang mau menikahi Danti seandainya mereka tau Danti mengidap PTSD, dan seandainya sampai orang luar tau apa yang terjadi dengan Danti maka martabat keluarga bisa dipertaruhkan.Walaupun Mas setuju bahwa sakit mental bukanlah sebuah aib. Sebagai seorang anak yang banyak berhutang budi dan tidak tau bagaimana caranya untuk membalas semua kebaikan Ayah, Mas menyanggupi keinginannya."
Nafas Mas Pras memberat, kugenggam jemarinya yang mendingin, menyalurkan segenap kehangatan yang mungkin bisa menjadi sumber kekuatan untuknya. Aku tau pasti sulit baginya untuk menceritakan rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat.
"Akhirnya kami sepakat untuk menjalani pernikahan hitam di atas putih, tidak pernah ada cinta dalam rumah tangga kami, bahkan Mas tidak pernah sekalipun menyentuh Danti selayaknya seorang suami. Mas hanya menjaganya dan memastikan keadaannya selalu baik-baik saja. Sampai Dzaky hadir hanya untuk membuat pernikahan ini tampak normal di mata semua orang. Namun hari demi hari kami semakin menyayanginya."
Kedua mata Mas Pras tampak berkaca-kaca. Kurengkuh ia ke dalam pelukku, menyesap segala kesedihan yang ia tahan di dalam hatinya selama bertahun-tahun. "Anin sayang Mas Pras, sangat."
Mas Pras semakin menenggelamkan dirinya ke dalam pelukanku. "Mas juga sangat sayang kamu, and that'll never change.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMULAKRA [Completed]
ChickLitBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...