The Truth Untold

5.5K 549 4
                                    

Aku sedang menyalin ayam goreng kremes dan oseng baby cumi untuk sarapan pagi ini yang kupesan dari aplikasi pesan antar ke dalam beberapa wadah yang berbeda.
Karena di kulkas sama sekali tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak sementara aku dan Mas Pras baru akan belanja nanti sore, maka memesan makanan dari aplikasi pesan antar tentu jadi opsi teratas.

Tadi sebelum berangkat ke kantor mas Pras sudah sarapan semangkuk bubur ayam yang dia beli sendiri di luar kompleks dan segelas kopi, tentu dengan tab berisi grafik-grafik laporan di pangkuannya juga. Ponsel pintarku berdering beberapa kali saat satu bungkus oseng baby cumi baru saja meluncur masuk ke dalam wadah, nama ‘Kanjeng Mami' muncul sebagai kontak pemanggil. Aku mengeryit, ada apa ya ibu menelpon pagi-pagi begini, dengan mengabaikan perasaan tidak enak yang mendadak mencuat aku mengangkat panggilan ibu sebelum beliau benar-benar mengamuk di balik telepon sana.

"Halo.. Assalamualaikum Buk?"

"Waalaikumsalam. Kenapa lama banget sih ngangkatnya Yu." Tuh kan, marah deh.

"Iya Buk maaf, Dayu lagi nyiapin sarapan Dzaky di dapur."

"Bener-bener mau jadi anak durhaka ya kamu. Kabur dari rumah, nggak pernah kasih kabar orang tuanya kalau nggak ditelfon duluan." Jutek banget nih Kanjeng mami.

"Ya bukan begitu Buk."

"Dayu..." Kali ini suara ibu terdengar lebih serius, "Kamu pulang secepatnya ke Jogja atau harus Ibu seret kamu dari sana dengan paksa."

"Ya nggak harus begitu juga Buk, Dayu pasti pulang kok. Tapi Ibu janji batalin perjodohan Dayu sama Mas Harsa ya."

"Mau sampai kapan kamu disana hah? Sampai rumah tangga Mbakmu berhasil kamu hancurkan begitu!"

Hatiku mencelus mendengar bentakan dan tuduhan dari ibu. Benar aku mencintai Mas Pras, benar aku tidak bisa melupakannya, tapi sama sekali tidak benar kalau ibu bilang aku ingin menghancurkan rumah tangga mbak Danti dan mas Pras.

"Kok Ibu ngomongnya gitu sih."

"Dahayu Anindyaswari Sumarsono! Ibu peringatkan kamu, pulang sekarang juga atau Ibu sendiri yang akan seret kamu dengan paksa." Suara bentakan ibu naik satu oktaf.

"Buk, Dahayu sama sekali nggak seperti yang Ibu tuduhkan barusan. Dahayu nggak sedang berusaha merusak rumah tangga mbak Danti." Bibirku sudah bergetar menahan tangis.

"Kamu pikir Ibu tidak tau apa yang kamu lakukan disana hah? Kamu pikir Ibu tidak tau kalau kamu masih belum bisa melupakan Pras? Ibu biarkan kamu disana biar kamu bisa berpikir dengan jernih sebelum menikah dengan Harsa, bukan malah menjadi duri dalam rumah tangga Mbakmu sendiri! Jangan jadi seperti wanita yang tidak punya harga diri kamu, Ibu nggak pernah mendidik kamu jadi seperti itu."

Hatiku benar-benar seperti diremas-remas menerima segala tuduhan dan kalimat sarkas yang Ibu tujukan. Nafasku tercekat di tenggorokan. "Buk itu semua nggak benar, Ibu salah paham."

"Ibu nggak mau dengar alasan kamu lagi, pulang sekarang juga dan menikah dengan Harsa. Ibu kasih kamu waktu sampai hari minggu ini, kalau kamu masih belum pulang juga maka jangan salahkan Ibu yang akan turun tangan sendiri."
Ibu memberikan keputusan dan memutuskan sambungan telepon sama-sama sepihaknya.

Tubuhku merosot ke lantai, kakiku lemas tidak sanggup menahan bobot tubuhku sendiri. Kucengkeram erat-erat dadaku yang terasa sesak, air mata menyusul jatuh satu persatu. Aku tau sejak dulu aku memang tidak begitu dekat dengan ibu dibandingkan dengan ayah, tapi tidak bisakah ibu memberiku sedikit saja kepercayaan untuk memilih jalan hidupku sendiri.

***

"Loh Ning? Dzaky mana?"

Ningsih yang sedang duduk disalah satu bangku taman mengangkat pandangannya dari layar ponsel di genggamannya. "Itu Mbak lagi main bola." Ia menunjuk ke arah tengah taman.

"Mana Ning? Nggak ada."

Raut wajah Ningsih berubah panik. "Mbak tadi Dzaky masih main di tengah taman, beneran."

"Kamu gimana sih Ning, kok nggak dijagain." Aku juga jadi ikut-ikutan panik kalau begini caranya.

"Saya jagain Mbak, sumpah. Tadi saya cuma balas pesan dari orangtua saya sebentar. Terus Dzaky udah nggak ada."

"Udah..udah. Pokoknya kita cari dulu sekarang, dia pasti belum jauh-jauh banget."

Lalu kami berpencar mencari-cari Dzaky keseluruh penjuru taman, aku masih berusaha positive thinking kalau Dzaky pasti ada di salah satu sudut di taman ini. Perumahan ini punya keamanan yang ketat, siapapun yang mau masuk ke sini harus punya izin akses, nggak mungkin ada penculikan anak yang bisa masuk ke dalam perumahan ini. Tapi sekuat apapun aku berusaha berpikir positif tetap saja prasangka dan berbagai pikiran buruk tetap muncul. Tiba-tiba aku teringat beberapa hari yang lalu ada wanita misterius yang selalu memberi Dzaky permen, tanpa bisa dicegah pikiran buruk langsung berkecamuk di dalam kepalaku.
Beberapa belas menit kemudian kami bertemu lagi di tengah taman.

SIMULAKRA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang