Beberapa saat kemudian kami semua sudah berada di dalam mobil dan segera bergerak meninggalkan bandara. Mas Pras di balik kemudinya sedang fokus membelah kepadatan lalu lintas kota siang itu. Mbak Danti yang duduk disebelah mas Pras sudah tertidur sejak beberapa saat yang lalu, sementara si kecil Dzaky juga sudah lelap di pangkuanku, bahkan sejak mobil mulai bergerak tadi.Lagu yang terputar dari audio mobil sudah berganti beberapa kali, lagu 'like strangers do' milik AJ Mitchell yang sekarang terputar seolah menertawakan keadaanku saat ini. Aku dan mas Pras yang sekarang seperti dua orang asing. Ya, dulu aku sedekat itu dengannya sampai saat ia memutuskan untuk menikah dengan mbak Danti, semuanya berubah. Atau sebenarnya tidak pernah ada kata berubah, hanya aku saja yang menganggap ada sesuatu diantara kami yang tidak lagi berjalan sama seperti sebelumnya.
Aku menghela nafas dalam dan membuang pandangan keluar jendela, mengamati lalu lalangnya kendaraan ditengah hari yang cukup terik ini. Cukup untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba saja mencuat. Aku menatap mas Pras lagi, ia masih fokus menatap jalanan di depan, terkadang jemarinya mengetuk stir berirama mengikuti alunan musik yang terputar. Dilihat dari sudut manapun pria ini tetap mempesona, atau lebih tepatnya semakin mempesona.
Setelah berkendara kurang lebih 45 menit, mobil yang kami kendarai mulai memasuki kawasan perumahan yang cukup elit menurutku, mengingat posisinya yang tidak begitu jauh dari bandara. Mobil berbelok ke kiri memasuki gapura bertuliskan The Grand Menteng Indah sebagai pintu masuk. Mas Pras membunyikan klakson menyapa dua orang security yang menjaga di pos gerbang masuk, dua pria yang kuperkirakan berusia pertengahan 40 dan 50 tahun itu menganggung dan tersenyum sebagai balasan sapaan mas Pras.
"Dzaky tidur ya Yu?" Tanya mbak Danti yang sudah terbangun entah sejak kapan— membuyarkan lamunanku.
"Eh iya nih Mbak, kecapean kayaknya."
Setelah beberapa saat kemudian mobil berhenti tepat di pelataran sebuah bangunan tipe klasik berlantai dua, nuansa stiletto gray mendominasi bangunan-bangunan di blok ini, ada taman di seberang jalan dengan gazebo tepat ditengah-tengahnya dan jogging track di tepian tamannya.
"Yuk masuk, kamu juga capek kan."
Setelah mengatakan itu mbak Danti langsung turun dari mobil dan menuju pintu untuk membuka kuncinya. Aku dan mas Pras menyusul kemudian.
"Masuk duluan aja Nin, biar Mas yang bawa kopernya kedalam."
Aku hanya mengangguk kemudian berlalu menyusul mbak Danti yang sudah lebih dulu tiba di depan pintu. Mbak Danti segera mengambil Dzaky yang masih tertidur dari gendonganku.
"Yuk Mbak antar ke kamar kamu."
Aku hanya mengikuti langkah kaki mbak Danti yang sudah melesak masuk ke dalam rumah lebih dulu. Mbak Danti membuka pintu dihadapannya dan mempersilahkan aku masuk, kamar dengan tema minimalis white to white yang tidak terlalu luas namun terasa sangat nyaman. Beberapa lukisan tanaman berukuran kecil tergantung di dinding bercat putih tulang itu, sebuah nakas dengan hiasan lampu tidur minimalis di sisi ranjang dengan badcover yang didominasi warna putih bersih, jendela yang menghadap langsung ke pekarangan samping rumah membuat udara bebas keluar masuk. Rasanya tidak akan pernah membosankan menghabiskan waktu di kamar ini.
"Selamat istirahat, Mbak tinggal ke atas dulu ya."
Ucap mbak Danti sebelum berlalu dan menutup pintu kamar lagi. Tak berapa lama terdengar pintu kamar diketuk pelan dua kali, aku segera membuka knop pintu dan pemandangan pertama yang terlihat adalah mas Pras yang berdiri tegak di ambang pintu dengan koperku di genggaman tangannya, aroma musk itu tercium lagi.
"Ini kopernya Nin."
"Eh iya, terimakasih Mas."
Mas Pras tidak menjawab lagi, hanya tersenyum sekilas kemudian berlalu dari hadapanku. Aku terdiam sesaat menatap punggungnya yang bergerak menjauh.
Aku duduk di tepi ranjang kemudian mengeluarkan ponsel yang ku-nonaktifkan sejak aku memutuskan kabur dari rumah kemarin. Beberapa notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab langsung muncul begitu ponsel menyala, beberapa pesan dan panggilan dari ibu dan beberapa pesan lainnya dari ayah menanyakan keberadaanku. “Apa mereka sedang marah besar sekarang”, gumamku dalam hati.
Aku tidak mengetik balasan apapun dan menonaktifkan ponselku lagi, aku akan keras kepala setidaknya kali ini saja. Kurebahkan tubuh lelahku di atas kasur yang terasa sangat nyaman ini. Mataku menerawang jauh menatap langit-langit kamar. Teringat perdebatanku dan ibu seminggu lalu sebelum aku memutuskan kabur dari rumah.
<Flashback on>
"Ibu nggak mau tau, pokoknya kamu harus menemui Nak Harsa besok siang. Lagian kalian ini sudah saling mengenal toh."
Ucap ibu yang saat itu memaksaku menemui mas Harsa, aku tau ada motif lain dibalik pertemuan itu. Apalagi kalau bukan rencana para orang tua ini untuk menjodohkan aku dengan pria itu yang tentu saja kutolak mentah-mentah. Raden Harsa Sanjaya, pria yang akan dijodohkan denganku itu seorang keturunan ningrat alias darah biru dengan gelar 'Raden' namun sifat dan tabiatnya tidak ada ningrat-ningratnya sedikitpun.
Bukan tanpa alasan aku menolak keras dijodohkan dengan mas Harsa, dia adalah kakak tingkatku saat kuliah di Universitas Gadjah Mada beberapa tahun lalu. Dia cukup populer saat itu, dengan tampang rupawan dan finansial yang tidak perlu diragukan lagi, tidak sulit untuk membuatnya terkenal di segala kalangan.
Namun sayang, segala kelebihan yang ia miliki tidak dimanfaatkan di jalan yang benar. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum dibeberapa kalangan bagaimana seorang Harsa Sanjaya yang selalu bergonta-ganti pasangan, baik dari kalangan senior ataupun junior. Beberapa dari mereka dijadikan pacar hitungan minggu dan beberapa lainnya hanya sebagai 'one night stand'. Bahkan ada gosip yang lebih parah dari itu, mas Harsa tidak hanya mengajak teman-teman wanitanya untuk menjadi partner ‘futsalnya', tapi juga teman-teman lelakinya. Tentu saja gosip yang terakhir itu belum ada bukti kebenarannya, tapi tetap saja tidak membuat citra seorang Raden Harsa Sanjaya menjadi baik dimataku.
"Justru karena Dayu kenal betul siapa Mas Harsa itu Dayu nggak mau dijodohkan sama dia Buk. Dayu masih bisa mengerti kalau itu orang lain, tapi ini Mas Harsa. Nggak pokoknya Dayu nggak mau." Ucapku yang saat itu menolak dipertemukan dengan mas Harsa.
"Alasan kamu itu nggak masuk akal, Harsa suka gonta-ganti pasangan lah, Harsa nggak lurus lah. Ibu kenal betul siapa keluarga anak itu, mereka keluarga baik-baik dan bukan orang sembarangan, jangan macam-macam kamu."
Dari intonasi suara ibu aku tau emosinya tengah memuncak, tapi kami berdua sama-sama keras kepala saat itu. Aku tau ini tidak akan selesai dengan cepat kalau intonasiku juga masih sama tingginya.
"Ibu bilang ini semua demi kebahagiaan Dayu kan? Kalau gitu Dayu minta tolong jangan lakuin ini Buk, Dayu nggak akan bahagia dengan perjodohan ini." Ucapku akhirnya berusaha keras menahan air mata yang siap terjatuh. Ibu diam, tampak berfikir sesaat.
"Kamu akan menemui Nak Harsa besok." Ucap ibu sebagai keputusan akhir dari perdebatan ini kemudian pergi meninggalkan aku sendiri di kamar.
Perasaan kesal, sedih, dan marah yang sudah sejak tadi berada di ubun-ubun meminta untuk diledakkan akhirnya luruh juga bersama air mata yang jatuh, aku menangis malam itu hingga lelah kemudian jatuh tertidur sampai pagi.<Flashback off>
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMULAKRA [Completed]
ChickLitBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...