Satu-satunya alasan aku rela duduk sendiri menunggu hampir satu jam di Starbucks Merdeka Walk malam ini dan hampir menghabiskan jatah kesabaran yang kupunya adalah karena dua manusia ngaret yang dengan bar-barnya membombardir handphone-ku dengan notifikasi grup chat kemarin malam saat tau aku ada di Medan.
Ingatkan aku untuk mengubah mereka jadi lontong saat datang nanti.Sumatra choco eclairs yang kupesan dengan butterbeer frappuccino yang jadi secret recipe di Starbucks sudah tuntas beberapa menit yang lalu, menyisakan frappuccino-ku seperempat gelas lagi, tapi dua kunyuk itu masih belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Dari arah pintu masuk seorang wanita dengan blazer khas kantoran melambai-lambai heboh bak Miss Universe menang awards. Rambutnya yang disanggul ala mbak-mbak BCA tak lagi rapih. Pria disampingnya pun tak kalah heboh, berkemeja biru muda dengan lengan yang digulung sampai siku, satu kancing paling atasnya tampak sudah terbuka. Tangan kanannya juga melambai-lambai ke arahku.
Nah ini dia dua oknum yang sudah bosan jadi manusia. Aku menghela nafas kesal, kalau tidak ingat dua manusia ini yang menemaniku dari jaman main lumpur-lumpuran di sawah mbah kakung dulu, sudah sejak tadi mereka berdua kuubah jadi lontong.
"Bebbb kangen banget gilak. Bisa-bisanya udah beberapa hari di Medan baru ngabarin. Tega banget."
Manusia pertama yang akan kuubah jadi lontong ini Rere, sahabatku yang paling ceriwis juga paling nomor wahid kalau disuruh nangis. Aku ingat dulu Rere yang menangis paling keras saat malam bina iman waktu kami SMA, dan setelah malam itu statusnya naik dari biang gosip kelas kakap yang bermarkas di koperasi sekolah menjadi icon malam bina iman satu angkatan. Sebelas duabelaslah sama Duta iklan shampo.
"Re santai kali meluknya, tulang gue bisa remuk nih." Aku menepuk-nepuk pundaknya.
Masih dengan gaya cengengesannya. "Maaf..maaf sengaja." Bener-bener minta ditenggelamkan di laut merah anak ini, untung sayang.
Manusia kedua yang akan kuubah jadi lontong itu cuma geleng-geleng kepala ditempatnya duduk. Bahkan aku belum mempersilahkan terdakwa ini untuk menikmati kursi panasnya. Dia Awan, spesies yang selalu sok stay cool every single time padahal aku tau betapa paniknya dia saat lupa tanggal ulang tahun pacarnya tahun lalu.
"Kalian jangan masang tampang tidak berdosa gitu setelah buat gue nunggu hampir satu jam disini. Pilih aja mau gue ubah jadi lontong atau mau gue buang kalian ke Korea Utara sana."
Mereka berdua hanya terkekeh mendengar omelanku, padahal aku serius. Awan bangkit dari duduknya dan memelukku hangat seperti biasa.
"Iya..iya maaf tadi ada meeting dadakan. Hari ini gue yang teraktir ya."
Nah, kalau udah dengar kata-kata teraktir apa bisa aku marah lama-lama.
Kini aku duduk berdua berhadap-hadapan dengan Rere. Awan sedang ada di barisan antrian untuk memesan.
"Lo kok tega banget sih Yu dateng ke Medan nggak ngasih kabar kita?"
"Surprise !!"
"Nggak lucu joni." Rere mendengus kesal mendengar jawabanku. Ia membuang mukanya ke barisan antrian di samping kanan tempat kami duduk, senyumnya terukir tipis.
Aku mengikuti arah pandangnya dan tidak melihat ada yang menarik perhatian disana selain awan yang tampak sedang memilih menu. Kenapa suasananya berubah jadi merah jambu ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMULAKRA [Completed]
Chick-LitBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...