Mas Pras mendudukkan dirinya tepat disampingku setelah Awan pamit pulang beberapa saat yang lalu. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya saling diam dan menikmati kebisuan di antara kami.
Dinginnya angin malam manampar-nampar kulit lenganku yang tak tertutup kain yang lebih panjang, kugosokkan kedua telapak tanganku untuk menciptakan sensasi hangat sembari sesekali meniupnya.
Ternyata tingkahku tertangkap oleh mata mas Pras. Tanpa mengucapkan sepatah katapun mas Pras melepaskan sweater hangatnya kemudian menyampirkannya ke bahuku. Aku berusaha menanggalkannya dengan gugup.
"Eh nggak usah Mas, biar saya masuk aja ke dalam."
Mas Pras berdecak, "Pakai Nin." Ekspresi nya masih sama, dingin seperti beberapa hari ini.
Aku tak lagi membantah, pun beranjak. Kami kembali hening, tidak ada satupun diantara kami yang berusaha bersuara, kecuali suara debar jantungku yang tak terkontrol.
"Apa Mas terlihat seperti seorang bajingan sekarang?"
Mas Pras, tiba-tiba memulai percakapan. Dan masih konsisten dengan wajah datar tanpa ekspresinya.
Aku sontak menolehkan pandangan ke arahnya. "Apa Mas?" Sial, gugup lagi.
"Setelah memintamu untuk tidak menjauh, malah Mas sendiri yang menjauhimu. Bukankah Mas terlihat seperti bajingan sekarang?" Ia berdecih. Kedua tangannya sudah terlipat didepan dada. Kutatap ia kali ini.
"Mas sudah mengikhlaskanmu lima tahun lalu, sejak memutuskan untuk menikahi Danti. Tapi melihatmu lagi disini, setiap saat berkeliaran disekitar Mas. Melihatmu, membayangkanmu tertawa lepas dengan lelaki lain, membuat Mas sadar, ikhlas sejak lima tahun yang lalu itu tidak pernah ada." Wajahnya berubah sendu.
Jantungku terasa dihujam puluhan belati tak kasat mata, tanpa bisa mengatakan apapun. Mendengar pengakuan itu langsung dari mulut mas Pras, membuatku terlempar lagi ke masa lalu, saat aku berusaha mengubur dalam-dalam perasaan yang kupikir takkan pernah terbalas. Kemudian dengan hati yang sudah hancur berkeping-keping mengantarkannya kedepan meja ijab, pernikahannya dengan wanita lain. Aku mencoba mengikhlaskannya saat itu meskipun harus berdarah-darah.
“Kenapa Mas harus mengakui ini sekarang. It’s too late.”
“Mas tau ini sudah terlalu terlambat. Cuma mau kamu tau kalau kamu nggak merasakan itu sendiri selama ini. Mas bukannya nggak tau ada cinta di setiap tatapan kamu, Mas bukannya nggak tau kamu terluka dengan keputusan yang Mas ambil. Tapi seandainya waktu bisa diputar dan kita bisa kembali kelima tahun yang lalu pun Mas tetap akan pilih jalan yang sama meski harus menyakiti kita berdua.”
Mas Pras masih belum selesai dengan kata-katanya, ia tampak menghembuskan nafasnya kasar.
"Beberapa hari ini Mas sibuk menghindarimu, meyakinkan hati bahwa Mas sudah tidak lagi mencintaimu. Lalu apa yang terjadi Nin? Semakin Mas denial, perasaan ini malah semakin dalam.”
Nada suara mas Pras terdengar serak dan memberat. Sekuat tenaga aku mengatupkan kedua bibirku, meremas jemariku yang bertaut erat, menahan tangis yang sebentar lagi akan meledak. Jujur saja, beberapa hari ini perasaanku juga tidak menentu. Kesal, sedih, rindu hanya karena melihat seorang mas Pras menjauh.
Dan perbincangan yang tidak pernah ada dalam bayanganku akan terjadi, malam ini juga tanpa sempat aku mempersiapkan apapun, terjadi. Meluluhlantakkan segenap pertahanan diriku.
Tanpa aba-aba air matanya mengalir, berhulu dari bola matanya yang jernih, melewati kedua pipi kemudian berakhir di bibir indahnya. Meski tanpa terisak, meski tanpa suara, aku tau betul betapa terlukanya dia saat ini.
Keadaanku sendiri tak kalah menyedihkan, air mata yang sejak tadi kutahan-tahan bahkan sudah mengalir deras, seperti tak lagi bisa menahan kepedihan yang sudah tertahan bertahun-tahun lamanya. Malam ini, saat aku tau bahwa aku tidak merasakannya sendiri, bahwa mas Pras juga merasakan perasaan yang sama, kupikir perasaanku akan lega. Ternyata aku salah, ternyata melihatnya terluka seperti ini malah melukaiku lebih dalam lagi.
Jemari mas Pras menangkup kedua pipiku dan menghapus air mata yang mengalir deras disana—lembut, sangat lembut. Menatapku dalam-dalam seolah sedang menyampaikan seluruh isi hatinya. Menyampirkan anak rambutku dibalik telinga kemudian mengusapnya pelan.
“You deserve millions of stars Anindyaswari.”
“Forget the millions of stars. I feel the whole galaxy when i'm with you.” Ucapku saat membalas tatapannya.
Sorot matanya yang lembut menatapku tak berkedip. Lalu tangannya terulur membawaku kedalam pelukan hangatnya, persetan dengan dunia luar. Akal sehatku bahkan sudah wassalam sejak tadi, hanya ada aku dan mas Pras terdistraksi dalam ruang kami sediri. dengan mata yang saling terpejam seolah sedang menghisap kesedihan satu sama lain. Meski tanpa suara namun menggema dan hanya kami yang mengerti. Dan aku tau, hati kami telah bertaut. Entah sejak kapan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMULAKRA [Completed]
Literatura FemininaBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...