Benar saja, paginya aku terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut nyeri. Manfaat teh chamomile tidak berpengaruh sama sekali. Aku baru bisa tidur pukul lima subuh dan ini semua gara-gara mas Pras.
Pipiku memanas lagi mengingat apa yang terjadi tadi malam, aku langsung melarikan diri ke kamar setelah melepaskan pelukan mas Pras. Bahkan aku masih ingat jelas betapa harum dan hangat tubuhnya seperti efek drugs—candu. Yang ketika kamu konsumsi itu sekali maka kamu akan ingin itu lagi dan lagi. Astaga ibu Dahayu malu. Bagaimana nanti Dahayu harus menghadapi mas Pras. Aku menendang-nendang selimut gemas.
Tak lama kemudian terdengar suara pintuku diketuk beberapa kali. Aku membuka kenop pintu setelah mati-matian menormalkan raut wajahku yang entah sudah seperti apa bentukannya, semoga saja tidak merusak penglihatan.
"Kamu sakit?" Tanya mbak Danti di ambang pintu sesaat setelah terbuka.
"Enggak kok Mbak, cuma kurang tidur aja."
"Kamu insomnia?" Tanyanya lagi sambil meraba dahiku. "Badan kamu agak panas."
Akhirnya aku ikut meraba dahiku sendiri, benar juga. "Tuh pipi kamu juga merah begitu, yuk ikut sarapan dulu deh abis itu minum obat."
Oke, setidaknya pipiku merah karena demam bukan karena..ah sudahlah.
Aku benar-benar bisa bernafas lega karena ternyata kami hanya sarapan berdua saja di meja makan, tidak ada mas Pras. Sementara Ningsih sedang menyuapi Dzaky di halaman samping.
"Abis sarapan minum paracetamol dulu ya, kalau nggak turun juga panasnya baru kita ke klinik." Ucap mbak Danti ditengah-tengah sarapan kami.
"Istirahat jugak udah cukup kok."
"Oh iya, Mas Pras kemana Mbak? Nggak ikut sarapan?"
"Mendadak banget tadi pagi bilang ada dinas keluar kota. Padahal jarang banget loh dia tuh mau ambil tugas keluar kota begitu, mana tadi pagi keburu-buru banget."
Kali ini aku hanya ber oh oh ria, denyut di kepalaku semakin menjadi-jadi. Aku butuh paracetamol dan tidur segera.
Aku membuka kotak khusus obat-obatan di atas kotak P3K. Ada berbagai macam nama obat di dalamnya yang hampir keseluruhannya bisa dipastikan aku tidak mengerti apa saja.
"Deprezac." Eja ku. “Ini obat apa sih?”
Belum sempat aku membaca lebih lanjut, kotak dan satu strip obat dalam genggamanku direbut mbak Danti dengan tergesa. Aku melihat tangannya yang bergetar memegang kotak obat itu dan mulai mencari-cari obat lain. Dengan wajah pucat dan tangan yang bergetar hebat dia menyodorkan paracetamol yang kucari.
"Mbak, are you okay? Itu obat apa sih?"
Aku penasaran sekaligus khawatir melihat keadaannya. Dia menghempaskan tanganku yang mencoba untuk menenangkannya.
"It's okay, Mbak baik-baik aja. Kamu buruan minum obatnya terus tidur."Jelas-jelas keadaannya jauh dari kata baik. Tapi kepalaku juga semakin berdenyut untuk mencari tau lebih jauh.
"Yaelah mbak, itu pil kontrasepsi kan. Gitu aja malu, sama Dayu ini."
Oke, aku tau itu memang nggak lucu sama sekali karena alih-alih tertawa mbak Danti malah menyuruhku untuk cepat minum obatnya dan tidur. Kemudian dia pergi meninggalkanku dengan tubuh bergetar dan wajahnya yang pucat. Aku tau ada yang tidak beres, tapi kondisiku sendiri juga sangat tidak memungkinkan sekarang.
Ningsih menghampiriku setelah satu butir paracetamol berhasil masuk melewati kerongkongan."Mbak Dayu sakit?" Tanyanya cemas.
"Cuma agak demam aja kok Ning"
"Mau saya buatin sesuatu?"
"Saya butuh tidur aja, udah minum obat kok. Eh tapi saya minta tolong dong Ning, buatin teh chamomile buat Mbak Danti, kondisinya lagi kurang baik kayaknya. Sekalian tolong antar ke kamarnya ya Ning, kalo ada apa-apa tolong bangunkan saya."
Karena denyutnya makin nggak karuan, sampai mataku panas banget rasanya aku langsung meringsek masuk kedalam kamar dan tertidur.***
Aku terbangun saat sinar matahari yang sudah berubah jingga menerobos masuk dari jendela kaca dan jatuh tepat di wajahku. Aku memicingkan mata, sambil sesekali mengerjap menyesuaikan sinar yang masuk agar lebih ramah kedalam mataku yang sudah tertidur hampir satu harian, ralat—hibernasi lebih tepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMULAKRA [Completed]
Literatura FemininaBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...