SESUATU YANG HILANG

140 21 2
                                    

Semarang, 2021

Genap setahun pola kegiatan masyarakat berubah. Genap setahun para pelajar tidak menginjakkan kaki mereka ke sekolah. Genap setahun perkantoran tidak beroperasi penuh sebagaimana sebelumnya.

Bagaimana kehidupan masyarakat di Kota Semarang sendiri? Kalau di pusat-pusat kota, para aparat terutama Satpol PP masih gencar melakukan pengawasan. Jalan-jalan di pusat perkotaan bisa dibilang cukup disiplin. Tapi bila sedikit melangkah ke kawasan pemukiman, jangan harapkan hal yang sama tetap terjadi.

Sebagai contoh di kawasan perumahan lama di kawasan Sompok dan Lampersari, sebelah Timur dari Pasar Peterongan tempat Bima biasa bekerja, penduduknya yang mayoritas sudah berusia lanjut, bahkan tidak peduli untuk sekedar memakai masker apabila berjalan keluar rumah. Sesekali mereka masih berkumpul dengan para tetangga, ngobrol nempel di pagar rumah tetangga, dengan jarak yang cukup rapat.

Apabila ada yang menegur mereka, jawaban seperti "malas", "repot", dan sejenisnya akan sangat umum terdengar.

Setidaknya itulah yang biasa Bima dapati ketika menyetir mobilnya pulang dari Pasar Peterongan, melalui akses perumahan di Jalan Blimbing Raya, lalu berbelok kiri naik ke arah TPU Sompok Kesambi, menuju rumah tinggalnya.


---


UHUK... UHUK

Sekali lagi Bima mendengar samar, dari kamar sebelahnya, Sang Ibu kembali terbatuk-batuk.

Sudah seminggu ini Ibu Bima tidak beraktifitas keluar karena kondisinya yang kurang sehat. Bima berkali-kali berkata pada Ibunya untuk melakukan swab test, agar mereka lebih yakin bahwa memang penyakit Ibunya bukanlah akibat Covid-19.

Namun Ibunya berulang kali menolak dan meyakinkan Bima, bahwa itu memang penyakit bawaannya sejak dahulu. Alasan sebenarnya, adalah karena harga yang harus mereka bayar untuk sekali swab test-lah yang menjadi masalah utama.

Sebagai anak, Bima tidak bisa berbuat apapun yang melawan kehendak Ibunya. Ia hanya bisa berharap penyakit ibunya tidaklah terlalu parah.


"Bu, sore nanti kita ke Roemani ya", bujuk Bima, mengajak Ibunya untuk memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit besar yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.

"UHUK", Sang Ibu kembali terbatuk sebelum bisa menjawabnya, "Enggak usah tho, Le, lha cuma batuk-batuk aja kok 'ndadak ke rumah sakit segala"

"Batuk biasa gimana sih, Ibu ini?", protes Bima, "ini sudah seminggu lho Ibu 'ra mari-mari (belum sembuh-sembuh)"

"Lha ke rumah sakit terus mau dibayar pakai apa?", Ibu Bima membalikkan ucapan putranya itu.

"kan bisa pakai BPJS, tho, Bu", sanggah Bima

Ibunya tetap berkeras, "lha wong BPJS sudah berapa bulan ga kita bayar, kok Le"

"Nanti kubayar, Bu", seru Bima, "pokoknya Ibu harus segera periksa ke dokter"

Bima hanya mendapati Ibunya tersenyum mendengar ucapannya yang mulai ngotot itu. Sampai beberapa saat kemudian Ibunya berkata, "Yo wis, aku nunut, Le (ya sudah, aku ikut saja)"

"Nanti sore kita jalan ya, Bu", ucap Bima, "saya siapkan mobil dulu"


Setelah memastikan Ibunya nyaman beristirahat kembali, Bima berjalan keluar dari rumahnya, namun bukan menuju tanah lapang tempat ia biasa memarkir mobil, melainkan ke minimarket di pinggir jalan depan. Tujuannya ke mesin ATM, untuk membayar premi BPJS-nya yang sudah berbulan-bulan tidak terbayarkan.

Bima - BahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang