SISI LAIN

150 18 1
                                    

Bulan berganti membawa musim berganti pula. Puncak kemarau kering di bulan Juli telah berlalu menuju rintik-rintik hujan pertama di bulan Oktober. Udara Semarang-pun mulai beralih dari panas terik menjadi sumuk, tidak lagi menyengat, tapi suhu udara tetap panas.

Termasuk Bima yang kedua tangannya terasa panas ketika mencuci tangan di halaman sekolah. Tandon air besar itu seolah-olah menyimpan ratusan liter air hangat didalamnya. Niatnya mencuci tangan dan muka agar bisa sedikit mengurangi rasa panas yang dideritanya, langsung berakhir sia-sia.

Matahari sudah tergelincir ke Barat dan langit mulai berwarna biru kemerahan, namun udara panas tetap mendera indera perasa di kulit Bima. Akhirnya dicobanya berjalan keluar gerbang sekolah, berharap es jeruk murni lima ribuan di gerobak pedagang keliling depan sekolahan bisa sedikit mengurangi dahaganya.

Namun sialnya, ketika Bima tiba di gerobak itu, pedagangnya malah bilang kalau dagangannya sudah habis. Siapa lagi yang menghabiskan? Ya sekumpulan murid SMA 3 dan SMA 5 yang sama-sama kehausan sore itu.

Dengan lesu, Bima berpikir dimana lagi ia bisa mencari kesejukan sejenak, setidaknya sampai matahari terbenam, baru ia kembali pulang ke rumahnya. Pikirannya tertuju ke sisi seberang jalan. Toko Buku Gramedia mestinya bisa jadi tujuan. Bima bisa menghabiskan sedikit waktu untuk membaca buku-buku disana sambil ngadem.

Bima bergeser beberapa meter untuk menuju posisi zebra cross terdekat, dan baru saja ia hendak melangkah menyeberang,


"BIMAAAA", suara seorang perempuan.

Bima menoleh sesaat, mendapati seorang siswi perempuan dengan rok panjang dan jilbab yang menutupi kepalanya, yang dikenali sebagai teman sekelasnya, Anggini, memanggilnya.

"Mau nyeberang kan, Bim?", tanya Anggini. Nada suaranya cukup lembut, tidak seperti kawan-kawan Bima lainnya yang sudah bernada dan diimbuhi berbagai pisuhan Semarangan.

Bima tidak menjawab verbal, hanya mengangguk sekali, hingga Anggini bicara lagi...

"Aku ngikut nyebrang ya, Bim".

Lagi-lagi jawaban Bima hanya anggukan.


Bima mendapati Anggini berdiri di sisi kanannya, menoleh takut-takut kearah kiri di Jalan Pemuda yang lebarnya 4 lajur dan semuanya searah itu. Ketika Bima sudah maju dua langkah, Anggini masih diam. Bima yang melihat sekilas jadi membatalkan niatnya untuk menyeberang. Ia-pun mundur kembali.

Namun belum sampai Bima mundur sampai tempat semula, malah Anggini yang mulai bergerak maju. Dan nampaknya baru 2-3 langkah, ia kembali ragu-ragu. Namun bukannya mundur, Anggini malah diam berdiri di posisinya yang sudah agak ketengah jalan.

Sebuah mobil melaju kencang dan hanya membunyikan klaksonnya panjang ketika melintas hanya beberapa sentimeter didepan Anggini yang masih terdiam.

Bima menjadi geregetan sendiri dan tanpa pikir panjang, diraihnya tangan kiri Anggini. Bima menengok kearah kiri sekali lagi, dan ketika merasa kendaraan yang melintas masih cukup jauh dan aman untuk mereka menyeberang, Bima-pun menggandeng tangan Anggini hingga ke sisi seberang.


Sesampainya di seberang...

Bima-pun melepaskan gandengannya di tangan Anggini, dan baru saja Bima hendak mengatakan sesuatu, namun dibatalkannya karena Anggini nampaknya masih terdiam dan menatapnya kaget. Bima merasa heran melihat ekspresi Anggini yang bagaikan terkena mantra 'Petrificus Totalus', seperti Neville yang dimanterai oleh Hermione, di film Harry Potter pertama yang baru tayang ulang di TV nasional tadi malam.

Bima - BahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang