Semarang, Juli 2019
"MAS BIM!!!!"
Suara keras seorang remaja putri terdengar membelah keriuhan yang terjadi di pagi itu, pagi pertama di masa tahun ajaran sekolah yang baru. Ketika ratusan orang berseragam putih biru menyemut di sisi Jalan Pemuda, seberang kantor Walikota Semarang.
Ratusan orang itu kemudian terbelah ketika memasuki gerbang dua sekolah yang berbeda. Di sisi Timur, barisan putih-biru itu menyemut untuk masuk ke gerbang bertuliskan 'SMA Negeri 5 Semarang', sedangkan beberapa puluh meter ke arah Barat, ratusan siswa lainnya memasuki gerbang bertuliskan 'SMA Negeri 3 Semarang'.
Dan suara yang barusan menggema tadi, membuat hampir seluruh pasang mata yang sedang berjubel disana memanjangkan leher kearah yang sama. Sedikit berbeda dengan seorang remaja pria, ia hanya menengok kearah sumber suara, namun setelah mengenalinya, ia kembali mengarahkan kepalanya kearah jalan memasuki gerbang pendidikan lanjutannya.
Remaja pria yang tadi dipanggil itu tetap berjalan memasuki halaman sekolah barunya. Sesekali ia menyapa beberapa orang yang dikenalnya, sesama murid baru yang berasal dari SMP yang sama dengannya, termasuk salah satu yang menegurnya dan mengingatkan, "Bim, bojo-mu kuwi lho, wis jerat-jerit ket mau (Bim, istrimu itu lho, teriak-teriak aja dari tadi)".
"Halah, jarno ae tho, Pik (Biarin aja lah)", balas Bima.
"Yo sakarepmu, Bim, ati-ati yen salah dikepruk jenderal awakmu", ujar Taufik alias Opik, kawan sejatinya sejak bangku SD dulu.
Terkadang Bima juga heran, dirinya dan Taufik tidak pernah berencana untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang sama, namun anehnya baik ketika masuk jenjang SMP, bahkan saat ini, mereka masuk ke SMA yang sama.
"BIMA IKI LHO... angel men ngenteni se'dhela (Bima iih, susah banget diminta nungguin sebentar)", ucap gadis imut bersuara keras yang akhirnya bisa mensejajari mereka. Nafasnya agak memburu, sepertinya ia harus agak berlari agar bisa mencapai orang yang tadi dipanggilnya.
"Lha awakmu wis tekan sekolah, lho Rim, napa kudu ngenteni meneh? (orang Kamu aja sudah sampai sekolah, Rim, kenapa harus ditungguin lagi?)", ucap Bima kepada gadis yang mensejajarinya itu.
"Yo bareng tho, lha wong sekolahe anyar, 'rung kenal 'ro sing liyane (ya bareng dong, kan sekolahnya baru, belum kenal sama yang lainnya", ucap gadis itu merajuk.
"Rim, Rim... yen aleman-mu metu, mumet aku (Kalau manja-mu udah keluar, pusing aku)", ucap Bima. "Yo wis, ki, kenalan dhisik, jenenge Opik, kelas IPA (ya udah, nih, kenalan dulu, namanya Opik, kelas IPA)"
Si gadis imut bersungut-sungut, "Yen si bengal iku, ojo dikenalke, mengko mesti aku sing isin (Kalau si bandel ini, gak usah dikenalkan, nanti yang ada aku yang malu"
"Huasyuuuu", maki Taufik yang dikata-katai oleh si gadis imut tadi, "omo-"
"EHEM!!!"
Ucapan Taufik terpotong oleh deheman seseorang berpakaian safari coklat, sepertinya salah satu guru disitu.
Mengetahui siapa yang menegurnya, Taufik yang tadinya sudah mau 'misuh-misuh', segera membatalkan niatnya dan malah tersenyum kepada penegurnya, "Eh, Selamat Pagi, Pak". Dan hanya dijawab anggukan setelah pelototan mata dari guru tersebut. Mereka bertiga-pun lanjut masuk ke halaman sekolah.
"Tenan tho? 'rung nganti semenit tekan sekolah, wis kenek teguran (Beneran kan? Belum semenit sampai sekolah, udah kena teguran)", ujar si gadis itu.
"Bim, bar lulus sekolah, ndang di rabi wae kae si Arim, ben tenang uripku (Bim, habis lulus sekolah, cepetan dinikahin aja si Arim, biar tenang hidupku)", ujar Taufik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bima - Bahari
Avventuradi laut ia kehilangan orang yang dihormatinya, dan dilaut pula ia menemukan jati dirinya. Dan cerita ini memuat kisah hidupnya dalam menemukan passion-nya, jiwanya, dan jati dirinya sendiri.