REGATTA

180 18 11
                                    

Kartika Jala Krida – Hari Kelimapuluh dua

Suatu tempat di Samudra Pasifik

Seluruh awak KRI Bima Suci dan seluruh taruna yang ada didalamnya sudah merasakan kelelahan yang luar biasa. Hampir sepanjang hari ini mereka dihadang topan badai yang luar biasa. Ombak mengayun dengan alun lebih dari 5 meter. Dan puncak gelombang yang menghantam dinding kapal memercik tinggi, bahkan membasahi geladak kapal.

Sudah tidak ada lagi istilah jadwal piket di hari ini. Hampir seluruh taruna hanya bisa bersiaga untuk panggilan tugas berikutnya yang entah kapan saja bisa datang. Makan? Lupakan soal makan. Tiga kali waktu makan pada hari ini semuanya harus dilewati tanpa ada makanan hangat yang disiapkan di galley. Ayunan kapal terlalu keras untuk dapat memasak sesuatu yang hangat bagi para taruna yang kedinginan itu.

Sejak dini hari hingga menjelang tengah malam lagi, hampir tidak ada waktu matahari muncul diatas mereka. Namun gulungan awan hitam dan tirai keabuan muncul beberapa belas mil dari posisi mereka. Lupakan soal navigasi bintang, lupakan soal penggunaan layar. Arah dan kecepatan angin terlalu liar untuk dapat mereka prediksi.


"Bagaimana keadaan kita, kadet?", tanya Komandan Kapal yang didampingi perwira Bahari dan Perwira Navigasi. Angga dan Bima baru saja dipanggil masuk ke anjungan utama untuk melaporkan keadaan.

"Siap, Kita adrift, Komandan", teriak Bima ditengah deru angin dan siraman air laut dan hujan yang membasahi kedua taruna yang sudah tertutup mantel itu, "saya khawatir kita off-course terlalu jauh. Ombak-ombak ini membawa kita lebih jauh ke utara"

"Kenapa tidak buka layar untuk melawannya?", tanya Komandan Kapal lagi. "saya yakin kalian bisa melakukan itu, lakukan pengaturan layar sehingga kita tidak terus hanyut ke utara"

Baik Angga maupun Bima tidak menjawab segera. Bima sendiri sudah merasa tubuhnya terlalu lelah untuk melawan ketakutannya sendiri. Ombak dan badai malam ini bahkan lebih menyeramkan dibanding gambaran badai dalam mimpi-mimpi buruknya.

"Bahari", panggil Komandan Kapal

"Siap", perwira Bahari menunggu perintah selanjutnya.

"bawa Kadet Angga dan Bima untuk memimpin peran layar berikutnya"

"Siap, laksanakan", jawab Perwira Bahari yang langsung memberi kode kepada mereka berdua untuk mengikutinya. Bersamaan dengan itu, Komandan Kapal menginstruksikan melalui pengeras suara, "PERAN LAYAR, PERAN LAYAR"

Para kadet kembali berlarian naik keatas geladak. Dalam waktu singkat, mereka semua sudah basah kuyup tersiram air laut dari kiri maupun kanan kapal. Bahkan kadang alun gelombang dari belakang kapal cukup tinggi dan menyirami mereka.

"Tiang Tanggon, Tiang Trengginas, serong kanan", teriak perwira Bahari memberi instruksi kepada para taruna. Sebagian taruna di sisi kanan menarik dengan kencang tambang-tambang pemegang tiang, sementara di sisi kiri para taruna mengendurkan tambang-tambang itu secara bertahap.

"buka penuh Mainsail, Topsail, Topgallant kedua tiang", instruksi lanjutan dari Perwira Bahari kembali terdengar.


"Aku butuh bantuanmu di layar, Bim", teriak Angga.

"Aku gak bisa, Ngga", jawab Bima, "terlalu lelah, kepalaku sakit semua.

Bima tidak sedang beralasan. Phobia-nya akan badai laut benar-benar menyelimuti tubuhnya saat ini. Hampir seluruh tubuhnya merasakan kesulitan untuk bergerak. Bersyukur isi otaknya masih cukup encer untuk berpikir dan mendapatkan persepsi atas kondisi lingkungan sekitarnya. Dan saat ini, bahkan Bima tidak bisa bergerak mencari tempat teduh. Lututnya terasa lemas bahkan untuk berjalan.

Bima - BahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang