Author's Note : chapter ini mengandung beberapa elemen yang membutuhkan 'kedewasaan' pembaca. Bagi pembaca sekalian yang masih dibawah umur legal, disarankan melewatkan saja chapter ini. Tapi kalau tetap mau baca, mohon jangan dipraktekan di dunia nyata ya...
Happy Reading, Readers...
===========
Tak pernah terlintas dalam benak Bima, hubungannya dengan Anggini yang sebelumnya hanya sebatas teman sekelas, tiba-tiba meningkat hanya dalam tempo beberapa hari saja. Dan akhir pekan kedua sejak kejadian di Paragon Mall lalu, kini Bima-pun kembali jalan dengan Anggini. Dan kebiasaan Bima untuk berjalan kaki tentunya mendapat tentangan besar dari Anggini, hingga akhirnya Bima mengalah dan bersedia memboncengkan Anggini, dengan motor keluarga Anggini tentunya.
Honda Scoopy itu akhirnya membawa mereka lebih jauh dari yang direncanakan semula. Kalau awalnya mereka berencana makan Sego ayam di bilangan Jalan Mataram, akhirnya malah motornya terparkir di salah satu sudut area parkir Simpang Lima. Sedangkan kedua penggunanya sedang duduk santai di salah satu tenda Tahu Gimbal.
Tahu gimbal sendiri adalah salah satu kuliner khas Semarang, dimana tahu goreng, kol mentah yang dirajang halus, lontong, taoge, telur, dan gimbal (semacam peyek udang) dan disiram dengan bumbu kacang encer dengan campuran petis udang-nya. Kalau muter-muter Semarang, daerah sekitaran Simpang Lima hingga Taman KB di belakang kantor Gubernur Jateng, banyak tenda-tenda Tahu Gimbal.
Bima tidak pernah menyangka, Anggini yang memiliki perawatan pendek dan langsing itu, ternyata mampu menyantap seporsi tahu gimbal tanpa kesulitan.
"APA?", ujar Anggini saat mendapati Bima hanya menatapnya saat makan.
"Nggak nyangka", jawab Bima pendek.
"Nggak nyangka apaan?"
"Nggak nyangka kalau kamu makannya ternyata banyak juga", jawab Bima sambil menahan tawanya. Bukan tertawa karena ingin mengejek, tetapi karena melihat wajah Anggini yang memanyunkan bibirnya.
Dalam kondisi seperti ini, bagi Bima, wajah Anggini kembali terlihat jadi imut-imut. Apalagi jilbab pink-nya, seolah menjadi frame untuk wajah imut berkulit kuning langsat itu.
"Mubazir kalau nggak habis", jawab Anggini asal, kembali berfokus ke sisa isi piring dihadapannya.
"Ternyata kenyang banget", ujar Anggini beberapa saat setelah berhasil menghabiskan seporsi tahu gimbalnya, ditambah lagi dengan segelas teh manis hangatnya.
"Kan sudah kubilang tadi, jangan dipaksa, malah nekad diterusin", Bima menanggapinya santai. Bagi Bima yang hampir tidak pernah makan malam, porsi inipun sudah cukup banyak, apalagi bagi Anggini yang badannya lebih kecil darinya.
"Ya daripada mubazir", tangkis Anggini lagi. "Jalan lagi, yuk Bim, mumpung masih sore"
Bima melotot mendengar jawaban Anggini, "masih sore? Ini sudah mau jam setengah Sembilan lho, Nggi".
"Iya, kan tadi janji sama Eyang pulang sebelum jam 10, masih ada satu setengah jam tho"
"Yo wis, mau ngapain sekarang?", tanya Bima, toh juga memang mereka masih harus berjalan beberapa saat, karena motor mereka terparkir agak jauh dari tenda ini.
"Ya jalan-jalan aja", Jawab Anggini asal sambil berdiri, lalu meluruskan baju pink-nya serta sedikit menepuk-nepuk bagian pahanya yang ditutupi celana jeans agak ketat itu. Bima yang selama ini hanya mengenal Anggini dengan seragam sekolahnya, agak sulit untuk melepaskan pandangan matanya dari sepasang paha langsing itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bima - Bahari
Aventuradi laut ia kehilangan orang yang dihormatinya, dan dilaut pula ia menemukan jati dirinya. Dan cerita ini memuat kisah hidupnya dalam menemukan passion-nya, jiwanya, dan jati dirinya sendiri.