Memory'2

2.4K 265 31
                                    

Dia tak mengingat lagi entah sejak kapan semua orang tampak sangat muak hanya sekedar untuk menatap wajahnya. Seakan setumpuk emosi segera tumpah ketika Jungkook memanggil nama mereka. Yang terkadang mampu membuat air matanya terpancing tanpa melihat keadaan maupun kondisi.

"mengapa adikmu menangis?"

Rasa ngilu pun bercampur dengan perih luarbiasa diakibatkan dari satu buah sendok yang melayang tepat menghantam punggungnya, menjadi sarapan pagi untuknya. Jungkook tidak sengaja, sungguhan sangat tidak sengaja. Ia tak sengaja membuat adiknya terjatuh dari gendongan dan membuatnya langsung menangis dengan keras.

Rasa takut itu merayap seketika pada sekujur tubuhnya. Ketika ayah berjalan mendekatinya, merebut paksa adik dalam gendongannya. Yang lantas memukul tempurung kepalanya tanpa perasaan. Jungkook menunduk, meremat tangannya satu sama lain.

"Maafkan Jungkook, ayah. Jungkook tidak sengaja."

"Bisa tidak, sehari saja untuk tidak memancing amarah ayah? Hanya menjaga adik dengan benar saja kenapa sampai tidak becus?"

Tangan ayah masih tak henti-hentinya  menoreh bekas merah pada telinganya yang sakit sekali rasanya. "Dia adikmu, bukan musuhmu jungkook. Mengapa kau suka sekali menyakiti membuatnya menangis? Kau kalau punya dendam ataupun merasa iri bilang pada ayah, jangan melampiaskannya pada anak kecil. Ayah tidak mendidikmu untuk menjadi seorang yang jahat."

Ada gemuruh hebat didalam dada. Hatinya mendadak merasa sakit luarbiasa, seolah diremat dengan kuat. Ia menggeleng, airmatanya telah sepenuhnya menggenang. Mengapa ayah sukar sekali menaruh percaya ketika ia berkata yang sesungguhnya?

"Ayah harus percaya pada Jungkook, hum? Jungkookie sungguhan tidak sengaja. Tidak ada dendam pula maupun iri pada adik, Jungkookie sayang sekali pada adik. Tetapi tadi ta-di--"

"Sudahlah, ayah muak mendengar alasanmu. Kau selalu saja membuat kesalahan yang sama lalu memohon maaf namun tidak lantas membuatmu jera. Sekarang buatkan susu untuknya, jangan sampai harus ibumu juga yang turun tangan. Kak Taehyung masih membutuhkan ibu lebih banyak."

Dengan langkah berat dengan liquidnya yang telah sepenuhnya tumpah, Jungkook lantas mengangguk patuh, lalu berguman pelan yang masih dapat ditangkap oleh pendengaran sang ayah. "Tidak apa-apa jika ayah muak dengan alasan Jungkookie. Tapi setidaknya jangan pernah muak untuk menatap wajah Jungkookie sebagai putra ayah."

***

Netranya berbinar ketika mendapati sang kakak yang terduduk pada kursi makan sambil melahap sarapannya dengan tenang. Jungkook menatap takjub pada anak laki-laki yang mengenakan seragam SMP, Jeon Seokjin. Ia langsung melupakan tangisnya, ia tertawa senang seperti seorang anak yang baru saja dihadapkan pada sebuah komedi putar, dengan langkah kecilnya ia berlari. Dan menduduki kursi tepat dihadapan sang kakak dengan tergesa hingga membuat meja makan ikut bergoyang.

"Kakak!"

Seokjin menatap malas pada Jungkook, lantas kembali menyantap makanannya yang tiba-tiba terasa hambar, tanpa memiliki minat untuk menjawab sapaan kelewat antusias adiknya.

"Lama sekali tidak pernah melihat kakak. Padahal kita dirumah yang sama, tetapi itu sungguhan sulit untuk bertemu dengan kakak. Jungkook senang sekali rasanya bisa menyapa kakak pagi ini? Kakak pasti sama 'kan? rindu tidak pada Jungkookie yang tampan ini? Hehe"

"Bagaimana hari-hari kakak disekolah? Apakah menyenangkan? Jungkookie sedari dulu ingin menanyakan ini pada kakak."

Dia terus mengoceh dan tertawa sendiri meski omongannya tak sedikitpun digubris oleh manusia yang ada dihadapannya.

"Jungkook disekolah punya banyak sekali teman yang baik." Tanpa Seokjin sadari bahwa Jungkook baru saja membohonginya.

"Aku tak peduli. Pergi sana!"

Namun, bocah 9 tahun dihadapannya itu masih kukuh, malah memanjat meja dan merangkak mendekat dan berkata sedikit berbisik, "kakak tahu, cokelat yang dijual dikedai dekat jalan besar itukan? Jungkook ingin sekali membelinya, tetapi Jungkook hanya diberi uang untuk sekali jajan dalam sebulan dan jumlahnya sangat sedikit.   Jungkook tidak mampu membelinya, bisa tidak Jungkook meminta untuk dibelikan pada Kak Seokjin? Sebagai kado ulang tahunku saja nanti, biar spesial? Boleh ya?"

"Dasar bocah tengik. Kau pikir aku akan menyia-yiakan uangku hanya untuk membeli hal tidak berguna seperti itu, huh? Jangan mimpi."

Jungkook sempat menatap lama wajahnya. Seokjin jelas mampu menangkap ada rasa kecewa yang dipantulkan pada mata boneka tersebut. Namun tak berselang lama, anak itu kembali tersenyum lebar meski bola matanya telah berkaca-kaca. "Kalau begitu pijam dulu saja pada kakak. Nanti kalau sudah terkumpul Jungkook akan membayarnya. Tidak apa-apa kan?"

Seokjin hampir saja kembali mengeluarkan kata-kata tajamnya, sebelum teriakan sang ayah yang memanggil Jungkook beserta suara tangisan bayi yang semakin kencang. Anak itu langsung beringsut. Rautnya berubah total. Mendadak merasa ketakutan, Seokjin melihat semuanya. Ketika Jungkook mulai menuang air panas dengan tergesa-gesa meski tangannya bergetar. Bahkan Jungkook sempat meringis sebab tangannya juga ikut tersiram. Namun, anak itu tak menangis.

[...]







     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang