Memory'12

642 75 14
                                    

Langit masih betah menangis.

Ia benci fakta bahwa hujan adalah sebuah anugrah. Bukan letak salahnya pada air yang berderai mengalir. Bukan. Ia benci ketika langit biru tempatnya mengaungkan mimpi berubah menjadi kelabu. Ia tidak suka ketika bintang yang berkelip harus bersembunyi dibalik punggung besar kegelapan.

Sesuatu seperti sedang melilit perut, meremas sakit, membuatnya bergejolak mual. Aroma pectrikor yang menusuk masuk kerongga dada membuatnya sesak. Ada rindu yang tak pernah tergapai muncul berdesakan menghantam hati yang sudah remuk. Ia ingin mendekap apapun yang bisa di gapai. Namun sayang, semakin keras usaha yang ia lakukan, hatinya justru kian remuk hancur.

Bergidik ketika merasakan dinginnya dari genangan air yang menyentuh kulit yang sesansi menggigilnya menyentuh hingga ke ubun-ubun kepala. Ia sempatnya berhenti sejenak. Menundukkan diri, menatap tapak sepatu yang ternyata sudah terbelah.

Tersenyum simpul. Menepuk sepatu lantas kembali melangkah. Padahal Hoseok sudah memberi amanat dengan menambahkan nominal lebih pada gajinya guna untuk memperhatikan diri bocah malang tersebut. Seperti membeli sepatu, tas, atau juga mengganti pakaian lusuh dengan yang baru.

Bukan maksudnya mengabaikan segala bentuk kepedulian yang dicurahkan oleh lelaki berhati malaikat seperti Jung Hoseok yang sudah banyak berjasa dalam hidupnya. Sampai rasanya Jungkook tak sanggup memikul hutang budi yang di berikan orang baik hati itu.

Namun, ada sosok kecil, bocah dengan sepasang mata lentik yang selalu menggebu mengharapkannya untuk selalu terus tersenyum yang harus ia prioritaskan. Bocah 7 tahun yang menjadi makhluk satu-satunya yang menanti kepulangannya.

Teringat di sehari tepat sebelum kak Taehyung dilarikan kerumah sakit yang hingga sekarang entah bagaimana kabarnya. Pada malam ketika seharusnya semua orang terlelap. Jungkook mendengar lirihan tangis yang sengaja tak di perdengarkan jelas.

Si mungil tengah menekuk lutut menatap lurus pada sebuah sepatu lusuh yang nyaris, ah, bahkan sudah seharusnya tak di pergunakan lagi.

"Jaemin? Mengapa belum tertidur?"

Bocah cilik tersebut tampak terkesiap. buru-buru menghapus airmatanya, meski Jungkook yakini ia masih melihat deraian liquid itu mengalir enggan berhenti.

"Jika sedang ada masalah jangan dipendam sendiri. Itu tidak baik."

"Jaeminie tidak sedang tertimpa masalah kok." Anak itu hanya menunduk mencoba menyembunyikan kesedihannya meski sia-sia.

"Benarkah?" Jaemin hanya mengangguk sebagai balasan.

Ia mengeryit, menyingkap poni si kecil yang menutup dahi. Jungkook terkejut ketika menemukan memar disana. "Dahimu--"

"Tidak apa-apa." Adiknya membalas dengan mengeleng cepat. Bibirnya melengkung kebawah, Jungkook lekas merengkuh di cilik.

Lantas tak butuh waktu sedetik, tangis Jaemin pecah, terdengar begitu menyayat hatinya. Ia memejamkan mata sesaat membiarkan tangis itu di curahkan sepenuhnya. Takkan ia biarkan Jaemin tumbuh dengan kesakitan seperti dirinya. Takkan pernah sekalipun.

"Mereka memukul Jaemin."

"Mereka memukul Jungkook, bu."

"S-siapa?"

Ia bergetar sesaat ketika bayangnya dimasa kecil tengah menangis sendirian didalam gelapnya gudang. Tanpa ada dekapan ibu, tanpa ada bahu ayah untuk tempat ia mencurahkan semuanya.

Jika Jaemin juga tak bisa mendapatkan semua itu dari kedua orangtuanya. Jungkook sudah berjanji dia akan menjaganya, selalu sedia siap untuk adiknya demi mental yang harus tumbuh sehat hingga dewasa nanti.

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang