A/N: setiap percakapan yang menggunakan huruf miring dari prolog hingga sampai epilog, Merupakan percakapan tempo lalu.
***
Pada musim hujan yang mulai mendera kota, memeluk tubuh dalam dingin yang tak terkira. Ia yang sudah berseragam SMA kini masih setia terduduk pada sebuah kursi basah. Menanti dengan resah, mengapa kakak tak juga kunjung menampakkan wajah. Hari bahkan sudah berkata bahwa ini tak lagi senja."Jika masih ingin hidup dirumah. Jangan pernah biarkan Taehyung dalam bahaya."
Kata-kata itu sudah terpalu dalam kepala. Jungkook tak bisa sedikitpun boleh membantah. Sebab hidupnya juga dipertaruhkan. Tak peduli sekalipun ia berdarah-darah, perkataan ayah sudah terlanjur absolut yang tak lagi bisa di tawar.
Hingga gerimis tak lagi membasahi seragamnya. Kakak masih tak juga terlihat.
Jungkook berdecak. Segera beranjak kembali masuk ke kawasan sekolah. Mengintari kelas demi kelas dengan perasaan gelisah. Berharap bahwa ketakutan yang sejak tadi betah didalam dada bukanlah apa-apa.
Namun, sayang seribu sayang. Ketika sepasang tungkainya berhenti pada bangunan paling belakang sekolah. Jungkook mendengar tawa menggema dari sekumpulan anak-anak nakal.
Bergegas dengan langkah berlari Jungkook menghadang. Hatinya mendadak seperti dihantam gada. Melihat kondisi seseorang yang begitu ia jaga dengan sepenuh jiwa. Sudah tampak mengenaskan dengan luka lebam yang menghias wajah.
Jungkook mengepalkan tangan menahan geram. Ia maju, menatap tajam mereka yang masih tak menyadari kehadirannya. Lantas melayangkan satu buah pukulan pada orang yang menjadi pemimpin para anak-anak nakal tersebut yang sukses membuat sang empu langsung terhuyung hampir terhempas pada tanah.
"Sialan! Apa maumu?!"
Jungkook mendecih ketika pemuda dihadapannya masih sibuk mengelap darah yang tak kunjung berhenti dari salah satu lubang hidungnya.
"Apa mauku? Tentu saja ingin menghabisi kalian!"
Sebuah pukulan langsung mendarat dengan mulus pada dadanya. Jungkook sempat menahan nafas akibat sesak yang menghantam paru-paru. Jantungnya perpacu tak terkendali. Namun, Jungkook mencoba mengenyahkan rasa sakitnya. Ia kembali menegakkan kepala dengan angkuh. Lantas melayangkan pukulan bertubi-tubi pada sekumpulan manusia sombong dihadapannya.
"Jangan mengganggunya!"
Tak butuh waktu lama. Lawan didepannya tumbang satu persatu meski pertarungan tak seimbang. Jungkook tak peduli akan konsekuensi yang akan didapat esok. Ia bergegas berlari menghampiri sang kakak yang kini tampak kesulitan bernafas.
"Kak..."
Ia menepuk pipi kakaknya. Namun, sang empu tetap bergeming.
"Kak Taehyung! Sadarlah, kak!" Hingga suara paraunya tergantikan oleh rasa panik. Jungkook ketakutan setengah mati. Jantung kakak bahkan terasa lemah.
Ia berlari dengan sisa tenaga yang ia punya. Membawa sang kakak dalam gendongannya menuju rumah sakit. Wajahnya yang pias bahkan telah sepenuhnya memerah.
Jungkook berhenti sejenak ditengah rasa kalutnya. Sesuatu didalam dadanya semakin menghimpit sakit. Ia berjongkok, menekan dada dengan kedua tangannya yang bergetar.
"T-tidak. Jangan sekarang...hah..."
Bulir keringat mulai menghiasi keningnya. Rasa ngilu bercampur panas semakin terasa begitu menyiksa.
"Akh!"
Memar yang sudah hampir sepenuhnya menghitam pada dadanya samar-samar terlihat dari seragam lusuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS
FanfictionSisa hujaman yang membekas masih terasa perih. Tidak ada yang sudi untuk mengobati maupun peduli. Sejatinya Jungkook terlahir bukan untuk mendapatkan hak hidupnya. Ayah bilang, Kak Taehyung lebih membutuhkan itu dibanding dirinya. Waktunya sudah dik...