Dia tahu bahwa bulan sudah berganti dengan matahari meskipun kelopak matanya masih enggan 'tuk terbuka. Jungkook juga ingin segera melepas kaku pada tubuhnya setelah semalaman tidur dengan posisi telungkup. Tetapi, semuanya terasa begitu berat. Hawa dari dalam tubuhnya juga terasa sedikit berbeda dari biasanya.
Sepertinya ia demam. Sebab kemarin harus rela hujan-hujanan dengan beberapa pasang kaki yang menahan punggungnya untuk tetap terbaring pada kubangan air yang kotor.
"Anak miskin tidak berhak mencari perhatian!" Penindasan yang dia alami sebab Jungkook terlampau nekat untuk mengikuti olimpiade.
Padahal Jungkook semalaman suntuk dikurung ayah dalam gudang yang menakutkan. Namun ternyata, hal buruk masih enggan berhenti dan terus saja mengikutinya hingga esok hari. Anak-anak nakal yang suka menindasnya merasa tak terima dengan dirinya yang dianggap payah dan bodoh nyatanya mampu mengukir sebuah prestasi.
"Tapi anak miskin juga punya hak untuk bahagia." Ia menyahut lirih mirip seperti hembusan angin ketika suara nyaring yang beradu dengan derasnya hujan kembali terngiang dalam ingatan.
Tangannya mulai bergerak lemah. Menompang tubuhnya yang terasa begitu berat untuk ditegakkan. Rasa ngilu pada punggungnya semakin terasa menyakitkan hari ini. Belum lagi rasa pusing yang menghantam kepala seolah mampu meremukkan.
"Ssshhh..."
Dia mendesis disetiap langkah yang di ambil. Beruntung kemarin, ibu tampak begitu sibuk dengan Kak Taehyung. Sehingga tak sempat meliriknya yang sudah tak berbentuk seperti manusia. Sebab tubuhnya sudah sepenuhnya kotor dan basah kuyup oleh lumpur. Jika tidak, mungkin siksaan masih tetap berlanjut.
Netranya manangkap presensi ibu yang sedang berkutat di dapur ketika dirinya baru saja keluar dari kamar mandi. Langkah Jungkook secara refleks membawa tubuhnya mendekat pada ibu. Berharap ibu dapat menangkap ada yang berbeda dari kondisinya saat ini.
Namun, sudah hampir 10 menit dirinya berdiri disamping ibu. Wanita itu sedikitpun tak memalingkan pandangannya dari wajan penggoreng.
Meraup napas dengan susah payah, bocah 10 tahun itu berujar, "ibu ..."
"Menyingkirlah dari sini. Jangan mengganggu pekerjaan ibu."
Ibu menyikutnya dengan kekuatan tak seberapa. Namun, Jungkook hampir tumbang karena saking lemahnya. "Sepertinya Jungkook demam."
Namun, ibu tak memberi reaksi apapun. Seperti tidak mendengar ucapannya sama sekali.
"Ibu, kepala Jungkook pusing dan terasa hangat."
Ia menarik ujung baju ibu berharap ibu mau melihatnya dan memeriksa kondisinya sebentar saja. Tetapi, sekali lagi. Dia hanya terlalu banyak berkhayal.
Jungkook terkejut ketika rasa panas bercampur perih menyambar tangannya. Ibu memukulnya, "ibu bilang menyingkir, Jungkook. Kau sangat mengganggu. Apa telingamu sekarang sudah tuli?"
Jungkook coba abaikan perkataan menohok ibu. Ia kembali memohon sekali lagi dengan wajah memelas, "ibu, Jungkook sedang terserang demam."
Ibu menghela nafas setelah mendengar ucapannya. "Kau bisa gunakan penglihatanmu untuk mencari kotak obat yang ada didalam nakas. Jangan manja dan jangan berpikir tak akan ada yang memberimu pelajaran ketika ayah sedang tidak dirumah jika kau berulah." Lantas ibu kembali mendorongnya. Memaksa Jungkook untuk menjauh.
Ia menunduk sedih. Ibu bahkan sama sekali tidak merasa khawatir padanya. Jungkook melangkah mundur, beranjak pergi. Menggeledah kotak obat yang dikatakan ibu. Kepalanya jadi semakin pening ketika melihat begitu banyak jenis obat didalamnya.
Jungkook mengalihkan pandangan ketika rungunya tak sengaja mendengar daun pintu si sulung terbuka. Rupanya Kak Seokjin sudah berpakaian rapi dengan seragam sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS
FanfictionSisa hujaman yang membekas masih terasa perih. Tidak ada yang sudi untuk mengobati maupun peduli. Sejatinya Jungkook terlahir bukan untuk mendapatkan hak hidupnya. Ayah bilang, Kak Taehyung lebih membutuhkan itu dibanding dirinya. Waktunya sudah dik...