'Terlelaplah malam ini. Dan lupakan segala yang menyiksa diri.'
Pupus
Ia mati-matian untuk tetap tegak. Ia berusaha keras untuk tetap memacu langkah meski kacau sekali. Adaikan saja, matahari masih sudi tampakkan diri, menemaninya barangkali pun mau membagi sedikit saja kehangatan dari sebuah pelukan. Namun sayang, dia sudah pergi. Matahari sudah tenggelam, menyisahkannya seorang diri ditengah malam gelap gulita.Airmata masih setia mengalir meski mata boneka itu sudah sepenuhnya memerah. Jungkook mengusap berulang kali, menghalau mereka untuk tak berdesak keluar namun semua hanya kesia-siaan. Airmatanya enggan berhenti. Seolah ingin tunjukkan diri bahwa mereka lah saksi atas hancur berkeping-kepingnya hati seorang Jungkook kecil.
Pada akhirnya ia meluruh ketanah. Ia tergugu begitu menyayat hati. Badannya terasa sangat lemas dan begitu ngilu dibeberapa bagian. Bahkan ada bercak darah yang tertinggal dipakaiannya.
"Tidak boleh seperti ini." Ia menggeleng kuat. "Tidak boleh menangis. Jungkookie kan seharusnya senang sebab bisa selamatkan kakak dari orang-orang jahat."
"Jalang kecil sungguh luarbiasa."
"Sebelumnya tidak ada manusia yang mau repot-repot menyerahkan diri pada sekumpulan serigala kelaparan demi oranglain. Ouh... Ini sangat nikmat."
Suara sekumpulan preman yang meruntuhkan harga diri begitu membekas dalam ingatan. Yang terdengar amat sangat menjijikkan. Mereka melucuti pakaiannya, menodainya, dan bahkan menghancurkannya.
Mereka tertawa puas diatas tangisannya. Dan yang paling parah adalah,
"Besok kau harus kemari lagi, Jalang kecil. Jangan sekalipun berani untuk tak datang dan melapor pada orangtuamu. Atau kami akan menghancurkan pun bahkan membunuh mereka semua."
Mereka mengancamnya. Bahunya bergetar hebat. Dia tak tahu harus bagaimana. Apa yang akan dilakukannya untuk hari esok. Jungkook tidak sanggup bila harus menemui orang-orang jahat itu lagi. Dia takut, sangat takut.
.
"Tidak apa-apa. Semua akan berlalu, Jungkook."
Kata-kata harapan yang ia gumam kan sepanjang jalan menemani langkahnya hingga sampai ke rumah. Ia terus mencoba meredam rasa gejolak yang terus menghantui.
Menuntun diri memasuki rumah yang terasa begitu dingin tak berpenghuni.
Brak!
Ia menutup pintu penuh waspada. Segera meraup kotak berisi penuh obat-obatan. Membuka bungkus obat dengan terburu-buru.
"Kau bisa meminum yang mana saja sesuka hatimu. Apa susahnya? Jika perlu habiskan saja semuanya supaya kau cepat sembuh.",.
"Minum yang banyak, supaya cepat sembuh." Ia terus bergumam ketika ucapan kakaknya terlintas dalam ingat.
Tangannya masih tak berhenti mengeluarkan obat dari bungkusnya yang tak terhitung Jumlahnya. Setelahnya menelan dengan degup jantung yang mengila dengan airmata yang masih terus mengalir.
"Ayo cepat sembuh, cepat menghilang."
Jungkook beralih memukul dadanya ketika rasa sesak tiba-tiba datang, seolah sesuatu tengah mencengkram jantungnya dengan kuat.
"Hiks... ibu, Peluk aku. Peluk Jungkookie, ibu."
"A-ayah..."
Ia terus meracau dengan menelungkupkan kepala pada lututnya dan menyembunyikan wajahnya disana.
"Ayah, t-tolong. Mereka akan melukai Jungkook lagi. Mereka akan melukai kita. Jungkook harus bagaimana?"
Jungkook mencengkram erat sapu tangan kumal pemberian ibu yang dia anggap sangat berharga. Berharap dapat menemukan secuil saja afeksi ibu disana.
Tangisannya kian pecah. Merasa begitu hancur. Merutuki dirinya yang begitu bodoh dan kotor. Malang, bocah yang masih menginjak umur 10 tahun harus suka rela merasakannya bagian sisi kejamnya dunia.
Lama ia bertahan pada posisinya. Mencoba dengan segenap kekuatan yang masih tersisa untuk membangun puing-puing yang telah runtuh dalam lubuk hati.
Jungkook mencoba menyakinkan diri bahwa ia mampu untuk kembali berdiri pun menganggap dirinya masihlah sosok yang berharga. Meski semua terasa amat sangat sulit.
Ceklek.
Hingga pintu utama kembali terbuka. Mempersilahkan sosok yang amat sangat ia takuti memasuki rumah. Jungkook kembali bergetar. Sia-sia, sisa kekuatannya seketika sirna.
Kembali merutuki dirinya, ketika mengingat bahwa ia baru saja melupakan persensi lain yang harusnya ia jaga dengan sepenuh hati. Kak Taehyung? Bagaimana keadaannya? Mengapa rumah terasa sangat sunyi?
Sosok hitam tertutup cahaya lampu yang ia yakini adalah ayah mulai melangkah masuk. Dia bahkan dapat menebak dalam tiga sekon berikutnya tubuhnya akan terhempas. Setidaknya menghantam tembok dengan keras.
Namun sebelum semua itu terjadi. Jungkook mencoba beranikan diri untuk beringsut mendekat. Tak memperdulikan rasa takut yang mulai merayap bahkan netranya tak mampu menutupi.
Berlutut, memejamkan mata lantas merapatkan kedua telapak tangannya. Memohon pada ayah untuk sedikit saja mau meredakan amarah. Ia berharap ayah mau mengampuni kebodohannya sekali ini saja.
"A-ayah, a-ampun. Maaf, maaf, Jungkook tidak menepati janji lagi."
Mengusap berulangkali bulir airmata yang ia coba tutupi ketika mengingat ayah akan semakin marah jika melihat Jungkook yang payah dan cengeng.
"Maaf, ayah. Jungkook buat kak Taehyung terluka."
Jungkook bahkan masih memejamkan mata, takut sekali untuk bersitatap pada wajah menyeramkan ayah.
"Jungkookie mohon jangan hukum Jungkook kali ini saja."
Tubuhnya meremang hebat. Ketika tangan besar ayah mulai mencengkram bahunya. Ia panik,
"Ayah, jangan p-pukul Jungkook. Jangan--"
Jungkook bahkan menulikan rungunya ketika suara teriakan tepat pada wajahnya. Bahunya bahkan diguncang hebat tak lagi ia pedulikan.
Dengan segenap keberanian, Jungkook dengan cepat meraih kaki ayah. Memeluk erat dan terus bergumam dengan racauan yang kacau.
"Ayah, Jungkook mohon--"
Hingga samar-samar ia mendengar seseorang yang terus berteriak dan berupaya melepas jeratan pada kaki, sebelum pandangan hitam menjemputnya untuk mengakhiri ketakutannya pada hari yang menyakitkan.
"Jungkook! hei! Sadarlah! Ini aku Seokjin, bukan ayah!"
[...]
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS
FanfictionSisa hujaman yang membekas masih terasa perih. Tidak ada yang sudi untuk mengobati maupun peduli. Sejatinya Jungkook terlahir bukan untuk mendapatkan hak hidupnya. Ayah bilang, Kak Taehyung lebih membutuhkan itu dibanding dirinya. Waktunya sudah dik...