Memory'10

2.3K 235 72
                                    

Jika dahulu ia akan acuh saja saat beradu pandang pada seraut wajah yang menatapnya penuh dengan pengharapan. Mengapa sekarang jadi berbeda? Mengapa hatinya terasa sangat sakit sekali? Mengapa Seokjin baru tersadar jikalau netra itu memendam begitu banyak kesakitan?

Ia tatap cokelat dalam genggaman tangannya. Sudah terlalu lelah menjerit dan menangis untuk memohon sedikit saja keluluhan hati ayah.

Seokjin mencoba meredakan perasaan yang mencengkram dada. Namun, semua hanya berakhir pada sia-sia. Nyatanya ia tak mampu mengenyahkan Jungkook dari dalam pikirannya.

Setahun lalu, tak hanya sekali dua kali ia kerap menjumpai Jungkook tengah berdiri dengan wajah yang menempel tepat pada kaca besar sebuah toko dengan beraneka ragam kue dan cokelat didalamnya. Yang terkadang bocah itu baru akan beranjak pergi jika sang pemilik toko sudah keluar untuk mengusirnya.

"Cokelat?" Dulu, Jungkook akan selalu datang mengusik malamnya. Tak peduli meski ia terkadang harus berjalan dengan langkah yang terpincang-pincang sebab luka lebam dan cambukan dari ayah.

Sepasang manik penuh binarnya yang takkan meredup sekalipun malam telah tiba menatap Seokjin penuh harap. Mengadahkan tangan padanya, berharap ada keajaiban yang keluar dari kantong Seokjin.

"Tidak ada." Jawaban yang selalu ia gunakan untuk membungkam mulut Jungkook.

"Kakak belum membelinya?"

Seokjin mengabaikannya.

"Tidak sempat, ya?"

Ia benar-benar tak akan mau menjawab pertanyaan membosankan dari adiknya.

"Tidak apa-apa." Jungkook mengangguk-anggukkan kepala. Barangkali memang ia terlampau naif atau bodoh, jelas Seokjin tak sudi 'tuk peduli. "Lain kali saja, jika Kak Seokjin ada waktu luang."

...

"Selamat malam, kak."

***
Seokjin tak sanggup lagi menghalau airmata yang terus berdesakan keluar. Lelah dirinya mencari Jungkook pada sepenjuru rumah. Ia
terkejut ketika mendapati kamar adiknya tampak sangat berantakan bahkan ada beberapa bercak darah yang menempel pada lantai hingga membawanya menuju sebuah gubuk kumuh yang biasa digunakan orangtuanya sebagai gudang.

Tangannya lemas tanpa daya mencekal knop pintu sebab terlampau takut dengan apa yang akan terpampang nanti.

Dengan deru nafas yang berantakan, Seokjin perlahan membuka mata. Rasa sakit seketika menghantam jantung. Ia spontan menjerit, berlari dengan kaki gemetar.

"Jungkook!"

Sosok itu, diam tak bergeming, diam seperti tak bernafas dengan posisi telungkup menyedihkan.

"J-jungkook, ini kakak. Kak Seokjin ada disini, hiks."

Ia menepuk pipi adiknya. Namun, bocah 10 tahun itu tetap terdiam. Seokjin beralih menguncang bahunya. Jungkook masih enggan membuka mata.

Seokjin menangis dengan kerongkongan yang perit. Memeluk adiknya yang terkulai lemah. "Jungkook, Jungkook ayo bangun. Jangan coba-coba berbual lagi!"

Hatinya semakin sakit, ketika rungunya mendengar tarikan nafas adiknya yang terasa sangat berat.

Adiknya bahkan mendengkur. "J-jungkook..."

"K-kak..."

Seokjin membuka mata. Merasa sedikit lega namun juga merasa terisis mendengar suara parau menyedihkan. Ia bahkan masih enggan melepas pelukannya.

"K-kak, Jangan menangis."

Netra itu menatap kosong dirinya. Seokjin tak sanggup. Ia masih tergugu pilu. "Jungkookie sayang sekali pada kak Seokjin."

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang