Memory'1

3.1K 308 25
                                    

Jungkook punya impian sederhana. Dipeluk dan dicium oleh kedua orangtuanya, juga berharap suatu saat nanti, mereka akan memberi kado spesial dan merayakan hari ulangtahunnya. Dulu, ia pernah menaruh secuil harapan pada lembaran kertasnya, berharap Tuhan sudi buat kabulkan. Ia ingin tahu, bagaimana rasanya meniup lilin diatas kue tart sederhana buatan sang ibu --yang biasanya selalu disajikan pada perayaan ulangtahun kedua kakaknya.

Setiap tahun ia kerap kali bertanya, "Bu, Jungkook ingin sekali, jika nanti Jungkook ulangtahun dirayakan seperti kakak."

Tetapi seolah kembali memaksa diri untuk menelan rasa kecewa. Jawaban ibu masih sama, "Ibu tidak punya uang sebanyak itu untuk merayakan ulangtahun kalian bertiga sekaligus disetiap tahunnya."

Jungkook masih memasang wajah penuh harap, "tidak harus semewah dan meria seperti kakak, kok, bu. Hanya kue tart buatan ibu dengan satu lilin diatasnya, Jungkook sudah sangat bahagia."

"Kau tentu tahu, kalau kita bukan keluarga kaya raya yang mampu membeli apapun yang diinginkan. Ibu harap kau mau mengerti keadaan, Jungkook. Jangan menambah beban dan menyusahkan."

Kalimat yang diluncurkan sang ibu sontak membuat binar matanya memudar seketika. Ia menunduk sedih, ketara rasa kecewa sekaligus iri pada kedua saudaranya. Lantas Jungkook berujar dengan nada bergetar, "ulang tahun Kak Taehyung selalu dirayakan setiap tahun."

Sang Ibu langsung menoleh kearahnya, menandang dengan kening mengkerut, ketara sekali tak suka dengan perkataannya, "Kau mau membanding-bandingkan dirimu dengan Taehyung? Kakakmu itu spesial, Jungkook. Dia punya jantung yang lemah. Apa salahnya ibu membuatnya bahagia?"

Ibu tidak pernah repot-repot bertanya, apa yang membuatku bahagia.

Jungkook mengangguk lemah, "Kak Seokjin juga selalu dirayakan--"

Plak!

Perkataannya terpotong begitu saja akibat tamparan keras yang dilayangkan sang ibu, "Kakakmu itu sedari lahir sudah terbiasa kalau ulang tahun pasti dirayakan! Kau tidak akan tahu bagaimana perasaannya ketika tiba-tiba ibu dan ayah tidak merayakan hari ulangtahunnya, kau tidak akan pernah tahu sesedih apa dia nanti."

Pipinya memang terasa perih tapi hatinya lebih kepalang nyeri.

'Ibu bahkan tidak pernah mau tahu bagaimana perasaan kecewa dan sesedih apa diriku.'

Jungkook hanya diam dan terus menunduk, tangannya memilin baju gelisah dengan airmata mulai menggenang pada pelupuk matanya. "Cobalah untuk mengalah, nak. Lagian, bukankah dirimu sudah terbiasa? Memangnya kamu tidak ingin melihat kakakmu bahagia?

Ibu mulai memelankan suaranya ketika melihat Jungkook mulai takut dan ingin menangis. Namun kata-kata yang dilontarkan nyatanya mampu mengoyak hatinya lebih dalam.

Benar, Jungkook senang melihat orang yang disayanginya bahagia termasuk kedua kakaknya. Dan Jungkook benci jika melihat mereka bersedih.

Tapi tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya, Jungkook kerap kali merasa hancur disaat menyaksikan betapa apiknya senyum bangga dan tulus yang kedua orangtuanya peruntukkan untuk kedua kakaknya.

"Ibu tidak ingat kapan kamu ulang tahun. Tapi ini" katanya sambil merogoh saku dan mengeluarkan sebuah sapu tangan yang tak lagi indah "ini untukmu. Anggap saja hadiah dari ibu." Melemparkannya begitu saja pada wajah Jungkook.

Jungkook tersenyum, sesederhana itu bahagianya, bahkan sapu tangan kumal pun terasa begitu sangat berarti.

Ia memeluk dan mencium kain petak yang ada digenggamannya, aroma ibu yang tertinggal menguar sesekali. Mencoba menghibur dan mencoba meminimalir rasa sesak didada.

Menyakinkan pada dirinya sendiri bahwa ibu tidak pernah pilih kasih. Ibu sayang pada mereka sama rata.

Hingga sekarang, benda tersebut selalu menjadi saksi bisu tentang seberapa rapuhnya seorang Jeon Jungkook yang tidak semua orang ketahui. Menjadi satu-satunya alat untuk membebat pergelangan tangan yang tak lagi mulus. Aroma anyirnya liquid yang kerap kali menembus kain tipis tersebut, sukses menggantikan aroma ibu yang sempat tertinggal disana.

[...]

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang