Memory'9

1.9K 212 29
                                    

Ayah senantiasa ajarkan untuk menjadi anak laki-laki yang tak banyak mengeluh. Sekalipun kaki tak lagi kuasa menahan beban tubuh, Jungkook harus tetap jadi sosok yang tegar. Yang mau terima apa adanya dunia serta takdir yang telah mengikat bahkan mencekiknya sampai sekarat.

"Dimana si lemah itu?"

Jungkook diam tertunduk. Sedikitpun tak berniat mau membalas ucapan yang menyakiti hatinya. Bukan sebab ia takut. Namun lebih tak ingin keluarganya sampai tau tentang penindasan yang diterimanya di Sekolah.

Sebuah kaki berlapis sepatu kotor mendarat pada bahunya. Menekan tanpa perasaan yang membuat ngilu seketika menghantam.

"Mulutmu itu tidak berfungsi lagi, ya?"

Dia masih diam membisu.

"Apa yang diberikan si lemah itu padamu hingga kau begitu tunduk padanya?"

Lalu disusul tawa mengejek dari segerombolan anak-anak nakal. Jungkook mendongak menatap mereka yang bahkan masih sama bocahnya seperti dirinya. Namun, sudah pandai menindas, mengolok-olok oranglain, bahkan tanpa segan menodongkan pisau jikalau Jungkook tak mau menuruti keinginan mereka.

"Yang kau katakan lemah itu adalah kakakku. sudah sapatutnya diriku menjaganya."

"Menjaganya sebab dia tanpa daya?"
Dan mereka tertawa lagi diatas rasa emosi yang telah membumbung tinggi. Jungkook sungguh benci mereka. Anak- anak nakal tak manusiawi. Bahkan diumur yang masih terbilang amat sangat muda. Sudah begitu lihai membuat oranglain menderita.

Apa memang yang mereka bisa banggakan? Harta berlimpah? Prestasi di Sekolah? Mereka yang merasa lebih baik bahkan terlampau suka mencampuri hidup oranglain tak lebih dari sebuah beban yang amat sangat menyusahkan.

"Kau salah. Definisimu mendadak melenceng. Jelas aku menjaganya sebab aku menyayanginya. Diriku tau kau senang mengganggu sebab tak ada yang mau pedulikanmu bahkan ayah dan ibumu saja berpisah tanpa memikirkan hadirmu."

"Ku tau kau iri pada kak Taehyungku sebab dia dikelilingi orang-orang yang begitu menyayanginya. Kau iri sebab tak bisa sepertinya. Punya segudang prestasi sekalipun tak membuat mereka sudi melirik padamu. Sayang sekali."

Tawa yang semula memekakkan telinga, seketika hening. Dalam hitungan sekon berikutnya Jungkook dapat merasakan hantaman yang terasa seperti mengoyak perutnya. Begitu menyakitkan. Jungkook limbung.

"Ughh..."

Bahkan tiada jedah sekalipun disaat orang-orang disekeliling mulai panik mencoba untuk menghentikan.

"Jangan mencelaku! Kau bahkan sama menyedihkannya, Sialan! Jeon Jungkook kau tak lebih dari sebuah sampah yang persis sama dengan Kim Yugyeom ..."

***

Jungkook masih tak berhenti membasuh dan menggosok tubuhnya sejak ia sampai ke rumah hingga langit mulai menggelap. Dibeberapa bagian tubuhnya bahkam sampai lecet dan mengeluarkan darah. Jungkook tetap tak peduli. Seolah tubuhnya tak pernah bersih seperti dulu lagi.

Hari kedua dimana dirinya harus merelakan tubuhnya untuk dijajah orang-orang keparat itu. Membiarkan mereka mengotori dirinya dengan seenak hati. Tak bisa dipungkiri Jungkook sesungguhnya sudah hancur sekali.

Dibawah guyuran air, ia diam-diam menangis. Memikirkan hari-hari yang baru saja terlewati dengan berat. Juga, memikirkan hari esok yang membuatnya semakin merasa tertekan.

Bisakah Jungkook pinta pada Tuhan untuk segera mati? Namun, tidak ia tak ingin hidupnya berakhir sia-sia. Ia masih ingin menatap wajah orang-orang yang ia sayangi. Ia masih mendamba satu peluk dari ayah dan ibu.

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang