Memory'8

1.7K 234 53
                                    

"Anak ibu istirahat dirumah saja, ya. Besokkan harus sekolah." Senyuman menenangkan bak air telaga milik ibu sedikit bisa meminimalisir rasa takut yang terus bergelayut dalam dada.

Seokjin menatap ibu dengan sendu, "t-tapi bagaimana dengan Taehyung. Mengapa adik tak kunjung bangun? Apa kesayangannya tidak lagi mau  berbelas kasih?"

"Sstt..." Ibu mengelus rambutnya dengan lembut mencoba menahan sesuatu yang hampir meluap. "Jangan risau. Adik pasti baik-baik saja. Kakak tidak perlu khawatir, pasti esok adik 'kan bangun untuk sapa kita lagi."

Lantas ibu mengecup pucuk kepala Seokjin. Dia memejamkan mata sesaat. Menarik nafas untuk membuang rasa sesak dalam rongga dada. "Besok ayah pulang. Jadi adik tidak mungkin masih terlelap. Sementara dirinya sudah merindukan ayah sangat sangat banyak. Sekarang pulang, ya, nak. Takutnya terlalu larut sampai kerumah."

Seokjin hanya mengangguk separuh hati, tak lagi sanggup berucap takut airmata yang sejak tadi ditahan akan tumpah. Ia tak mau menjadi Jeon Jungkook yang cengeng. Menjadi anak sulung harus kuat dan tegar apapun keadaannya.

Beranjak dari kursi. Di alihkannya pandangan untuk menyisir ruangan. Tampak si bungsu terlelap dilantai beralaskan tikar. Pakaiannya masih belum diganti sejak kemarin malam. Ternyata ibu memang sesibuk itu untuk mengurus segala keperluannya dan Taehyung.

.
.
.
Bahkan sedikitpun tak pernah terbesit dalam ingatan. Satu lagi yang nyaris terbuang jauh dari hati. Jeon Jungkook yang selalu terabaikan. Entah bagaimana keadaannya serta apa yang di rasakannya.

***

Untuk kesekian kalinya Seokjin menghela nafas. Ranjang kayu yang sempit dihadapannya tak berhenti berderit. Sosok yang terbaring diatasnya menggigil kedinginan. Awalnya Seokjin berpikir bahwa Jungkook hanya sedang berdrama mengingat segala tingkah ajaibnya. Namun, nyatanya bocah 10 tahun itu benar-benar jatuh pingsan setelah memeluk kakinya dengan cukup erat. Sambil meracau tak jelas.

Memeras kain dalam genggaman. Seokjin lantas kembali meletakkan pada dahi Jungkook. Menyelimutinya dengan kain tipis seadanya milik anak itu.

"I-ibu ... Jungkookie anak ibu ..."

Bibir pucatnya masih tak berhenti meracau. Memanggil sang ibunda untuk segera datang.

"D-dingin sekali ibu ... peluk ..."

Seokjin hanya menatap Jungkook dalam diam. Tak tahu harus berbuat apa. Sedikit merasa menyesal sebab sepanjang perjalanan ia tak berhenti memaki Jungkook atas kebodohannya yang membuat Taehyung harus berakhir di Rumah Sakit.

"Peluk ... Peluk Jungkookie i-ibu ..."

Dia beranjak dari kamar adik keduanya. Tak ingin terlarut terlalu lama dalam penyesalan. Meninggalkan Jungkook sesaat untuk segera menanggalkan pakaian sekolahnya.

Setibanya diruang tengah, Seokjin samar-samar menangkap sesuatu yang berserakan diruang tengah. Ia memutuskan untuk menghidupkan lampu. Melangkah mendekat menatap sekumpulan obat-obatam yang berserakan.

Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat banyak sekali bungkus obat yang terbuka. Mengingat ibu selalu rajin membuang bungkus obat yang tak lagi berisi.

"Kau bisa meminum yang mana saja sesuka hatimu. Apa susahnya? Jika perlu habiskan saja semuanya supaya kau cepat sembuh."

Kata-kata menusuk yang ia lontarkan tadi pagi kembali berkelebat dalam ingatan. Yang baru berakhir ketika ibu datang untuk mengakhiri keributan mereka dengan menampar Jungkook sampai tersungkur.

Rasa penyesalan semakin mencengkram dada. Seokjin seketika merasa sesak. Ia baru menyadari jika selama ini dirinya sama sekali tak pernah berbicara dengan baik pada Jungkook. Tak pernah sekalipun ia menanggapi senyuman yang membuat Jungkook seperti bocah idiot. Ia bahkan sekalipun tak pernah memikirkan tentang perasaan Jungkook ketika ia terus-menerus menghujamnya dengan kata-kata kasar tak berperasaan.

Seokjin melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Segera berganti pakaian. Lalu meraup selimut tebal nan empuk miliknya.

Malam ini telah ia putuskan menemani Jungkook untuk pertama kalinya setelah 10 tahun adiknya dilahirkan. Menyelimutinya dengan telaten. Lantas ikut merebahkan diri disamping Jungkook. Sempat terkejut ketika merasakan kasur yang selama ini Jungkook gunakan terasa sangat keras, yang pastinya berbanding terbalik dengan milik Seokjin.

Seokjin menatap Jungkook dari samping. Mengusap bulir-bulir bening yang keluar dari dahi Jungkook. Ia bergumam lirih sebelum merengkuh adiknya dengan erat,

"Maafkan kakak, Jungkook."

.
.
Dan tanpa ia sadari Jeon Jungkook baru saja meneteskan air mata.

***

Seokjin mengerjap  ketika mata hari telah menyinsing menyilaukan mata. Dirabanya kasur tepat adiknya kemarin terbaring memprihatinkan. Namun ternyata sudah tak lagi bertuan.

Dirinya memaksa kakinya untuk segera beranjak. Menyibakkan gorden pada pintu dapur. Matanya langsung menangkap siluet Jungkook yang tengah terduduk menikmati sarapannya dalam diam.

Hingga ia baru menyadari ada yang berbeda dari hidangan yang sedang dimakan adiknya. Seokjin lantas mendekat. Menatap sepiring nasi putih yang tersaji tanpa lauk maupun sayur yang menenami.

Bocah yang biasanya akan menjerit heboh ketika bertemu dengannya didalam rumah, kini hanya terdiam. Jungkook menatap kosong kedepan seperti tak menyadari kehadiran kakaknya. Mengapa?

"Dimana lauknya? Kenapa kau hanya memakan nasi saja."

Jungkook hanya menggeleng lemah sebagai jawaban.

Lama Seokjin terdiam memperhatikan Jungkook yang menyedok nasi dengan gerakan sangat pelan. Berharap adiknya itu mau buka suara. Namun, Jungkook hanya terdiam.

"Jungkook ..." Hingga Seokjin menyebut namanya. Jungkook lantas mendongak. Seokjin sempat terhenyak menatap seraut wajah tanpa rona kehidupan menyapa penglihatannya.

"Tidak boleh. Lauk itu kesukaan dan hanya milik Kak Taehyung."

Lantas Jungkook kembali menunduk. Menikmati sarapannya seperti robot. Seokjin bisa menangkap jelas. Bahkan mata boneka yang sesantiasa menatapnya dengan penuh binar antusias kini tampak sangat redup.

"Tapi Kak Taehyung 'kan sedang tidak ada."

"Tidak boleh, nanti ibu marah."

"Kalau begitu, kenapa tidak makan sereal dengan susu saja?" Sekali lagi Seokjin melontarkan tanya. Dan Jungkook masih tetap menampilkan raut yang sama.

Anak itu menggeleng lagi, "Ibu sudah berpesan untuk tidak pernah menyentuh itu. Sereal hanya milik Kak Seokjin. Jungkook tidak punya hak menikmati. Jungkook hanya boleh memakan yang seperti ini saja."

Rentetan kalimat yang baru saja diluncurkan Jungkook tanpa sadar membuat hatinya terasa begitu perih.

Kemana saja ia selama ini? Mengapa ia selalu mengabaikan presensi adik keduanya? Apa saja yang sudah dikatakan ibu maupun ayah hingga membuat Jungkook tampak begitu menyedihkan?

Dan yang membuatnya panik seketika saat dirinya baru menyadari jika--

"Jeon Jungkook! Kau mengkonsumsi nasi basi?!"

Berbalik dan tak lagi menemukan Jungkook dikursi makan. Hingga suara batuk keras adiknya yang terdengar sangat menyayat hati ketika berusaha memuntahkan seluruh isi perut.

Seokjin tak bisa untuk tak berlari. Tungkainya melemas, air mata seketika meluruh. Tak sanggup menatap pemandangan yang tersaji. Persetan, dengan anak sulung yang tak boleh menangis. Seokjin melangkah mendekat. Merengkuh dengan segala kalut yang menyerang.

"Mengapa harus?"

Perkataan lirih Jungkook selanjutnya membuatnya tak sanggup lagi untuk tak tergugu, "ibu sudah memasak dengan penuh cinta disana dan Jungkookie ingin selalu cinta ibu ada dalam diri. Meski mustahil ibu mau pandang Jungkook dengan sepenuh hati."

[...]

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang