Memory'4

2K 212 15
                                    

Meski hari telah berlalu lama. Namun, rasa kecewa itu 'kan terus ada dan senantiasa tetap bersemayam dalam dada. Padahal usianya masih sangat muda, namun dirinya sudah terlalu dalam memikirkan tentang siapa sebenarnya dia. Tentang, mengapa kedua orangtuanya selalu bersikap dingin. Mengapa dirinya selalu diabaikan. Mengapa mereka sama sekali tak khawatir bahkan disaat dirinya nyaris mati saat mobil truk hampir saja melindasnya.

Bukan kata-kata makian yang terasa mememakkan telinga, "Dasar anak nakal! Kau ingin mati atau bagaimana?" Disertai dorongan kasar yang membuatnya hampir terjebab kejalan raya dan nyaris tertabrak kembali.

"Jika ingin mati, mati saja! Aku sungguh takkan peduli!" Kata-kata sumpah serapah yang membuatnya semakin gemetar ketakutan.

Jungkook takkan egois. Jungkook takkan meminta airmata kedua orangtuanya untuk menangisinya sebagai bukti bahwa mereka menyayanginya dengan tulus. Cukup hanya dengan " tidak apa-apa, sayang. Jungkook hebat, Jungkookie anak ayah dan ibu yang sangat berharga. Tidak perlu khwatir, ada ayah dan ibu disini. Jungkook pasti akan baik-baik saja." Kata-kata yang sederhana namun terasa sangat berharga dan Jungkook begitu medambakan pelukan mereka.

Mata itu masih setia menatap kosong jendela kamar yang tertutup. Masih bertanya-tanya dimana letak salahnya sampai ia diperlakukan dengan berbeda. Apa mungkin karena dia terlahir dan besar sebagai seorang anak yang biasa-biasa saja? yang tidak pintar, tidak punya segudang piala untuk dibanggakan seperti kak Seokjin?

Tangannya tergerak membuka jendela. Ia biarkan angin malam mulai menelusup masuk tanpa peduli ia bisa saja sakit setelahnya. Memandang langit dengan angannya yang begitu banyak. Bocah sepuluh tahun dengan segala pikiran polosnya itu kemudian mengukir senyum sendu dengan  tangan yang menjulur keluar membentuk sebuah bingkai kearah langit, seperti hendak memotret. Ah, perjalanannya masih sangat panjang, ia sudah bertekad untuk mewujudkan impiannya yang membuat ayah dan ibu bangga padanya. Disuatu saat nanti, dihari yang sudah dipastikan akan menjadi sangat berarti, ia harap keduanya mau mengukir senyum tulus yang berasal dari hati.

Hari-hari masih sama, Jungkook masih tetap menjadi anak yang riang dan suka tertawa tanpa hal yang lucu yang kerap membuat Seokjin risih. Ia juga masih tetap berusaha melakukan semua dengan baik, meski ada saja kesalahan yang membuatnya harus menghadapi murka sang ayah. Yang suka membuntuti Taehyung kesana-kemari meski kerap mendapat umpatan. Ia tetap menjadi Jungkookie kecil yang suka bangun pagi-pagi sekali hanya untuk mendapat waktu berdua dengan ibunya. Yang begitu mendamba kecupan sayang serta usapan hangat pada kepala. Jungkook masihlah anak yang rela mengemis bahkan terlunta-lunta hanya untuk sebuah perhatian. Impian yang sederhana namun sangat sulit untuk didapatkan.

"Kak, nanti Jungkook pulang agak terlambat. Bisa minta tolong jemput Kak Taehyung di Sekolah, tidak?"

Bocah yang mengendap-endap seperti pencuri hanya untuk masuk kedalam kamar kakak pertamanya itu tengah memohon dengan wajah yang ia buat se-menggemaskan mungkin, namun sayang, kakaknya justru malah jijik melihatnya.

"Tidak."

"Kali ini saja, mohon sekali, sungguh. Jungkook janji akan pulang dengan membawa hadiah yang membanggakan. Pokoknya Kak Seokjin, bisa dipastikan tidak akan malu memiliki adik baik hati dan tampan seperti Jeon Jungkook. Hehehe..."

"Tidak bisa, aku sibuk."

Namun anak itu masih bersikeras membujuk dengan segala jurus yang ia punya, dan kini ia malah tampak menyombongkan diri, "ternyata menarik perhatian guru tidak sulit yah. Hanya bermodalkan wajah tampan dan juga otak jenius, adikmu ini bisa menjadi perwakilan olimpiade matematika. Wah, hebat yah aku."

Seokjin memandang malas adiknya yang kini tengah bertepuk tangan heboh bahkan sesekali tertawa tanpa ada yang lucu. Lama kelamaan ia menjadi risih, tugas sekolahnya masih menumpuk dan harus diselesaikan sekarang juga. Kehadiran Jungkook membuat semuanya menjadi tertunda. Dengan kekesalan yang sudah bertumpuk-tumpuk ditambah dengan lelah dengan tugas sekolah, Seokjin mengumpat pelan sebelum berteriak marah. Tak peduli jika pada akhirnya kedua orangtuanya mendengar, dan akan menjadikan Jungkook sasaran. Masa bodoh.

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang