Hatinya ikut terkoyak bersama dengan kertas yang belum genap satu hari ia junjung tinggi-tinggi penuh rasa bangga. Sudah pupus, sudah hancur tak lagi berwujud. Dengan satu kali sentakan ayah berhasil membuat kertasnya tak lagi berharga. Tidak ada terselip sedikitpun rasa bangga pada mata ayah, barangkali menatapnya dengan penasaran yang menggebu. Bodohnya, Jungkook terlalu banyak berkhayal.
Ia mati-matian mencoba untuk tak pecah, ketika medali yang ia kalungkan ditarik dengan kasar, sangat kasar sampai rasanya lehernya seperti akan terlepas juga.
Mengeratkan kepalan tangan, menahan nyeri luarbiasa. Jungkook tidak punya sedikitpun keberanian untuk menegakkan kepala menatap mata nyalang kelewat mengerikan milik ayah.
"Angkat kepalamu."
Suara berat yang mulai merangkak dalam rungu membuat darahnya berdesir. Rasa takut yang menyerang membuatnya mulai bergetar.
"Aku bilang angkat kepalamu, anak sialan!"
Seperti tertikam besi berkarat. Jungkook terhenyak. Sesak seketika menghimpit dada. Kata-kata yang sangat meyakiti, mengapa harus ayah yang mengucapkannya.
Ia menatap ayah dengan susah payah menahan bulir yang yang hampir tumpah.
Plakk!
Satu tamparan dari ayah berhasil mmbuat tubuhnya ambruk. "Apakah perkataanku tadi pagi memotivasimu untuk tak jujur dengan mencuri milik oranglain yang seharusnya tidak untuk kau genggam, Jungkook?"
Jungkook menatap ayah tak mengerti. Ia berharap yang dimaksud ayah bukanlah--
"Punya siapa yang kau bawa pulang itu?" Lantas ayah menunjuk medali kebanggannya yang sudah tak berbentuk.
Belum sempat dirinya menjawab. Ayah kembali menghujamnya dengan perkataan yang berhasil mengehancurkan pertahanannya. "Percuma saja bila ku bertanya pada seseorang yang sukar untuk jujur. Pembohong, kau selain bodoh. Kau juga seorang pembohong."
Kemudian tanpa perasaan ayah menendang perutnya dengan keras. Jungkook terbatuk dengan tangis yang ia coba sembunyikan walau pada akhirnya hanyalah sia-sia.
"Kau pikir aku akan bangga? Kau pikir aku akan percaya dengan tipuanmu ini? Semua orang tentu tau, bahwa anak bodoh sepertimu tidak pantas mengalungkan medali dileher. Sebab apa? Sebab kau hanyalah anak yang bodoh."
"Tapi ayah, medali itu diperuntukkan untuk Jungkook. Ayah, ayah harus percaya dengan Jungkook." Seribu sayang semua sangkalan harus tertelan kembali.
Ayah menyeret paksa tanpa belas kasih. Tidak peduli pada dirinya yang kewalahan menata langkah.
Membawanya pada sebuah pintu coklat. Lantas mendorong, menghempaskan tubuhnya hingga menghantam sudut tempat tidur berbahan kayu. Jungkook dapat merasakan kepala berdenyut.
Sebuah tangan yang terkulai bersama tubuh lemah diatas tempat tidur mengisi pandangannya yang agak mengabur.
Tiba-tiba, rasa bersalah mulai merayap menambah siksa didalam hatinya. Jungkook meraih tangan pucat itu, menggenggam lemah tak bertenaga. "K-kak, m-maaf..."
Belum usai bibir itu memohon untuk diampuni. Sebuah tangan tanpa belas kasih menjambak kasar rambutnya. Memaksanya untuk melepas genggaman pada tangan kakaknya.
"Lihat! Lihat kau menyakitinya! Kau menyakiti anakku, sialan! Padahal kau tau dia sangat berharga. Tapi mengapa kau tidak menjaganya dengan benar? Mengapa malah meninggalkannya dan membiarkannya pulang sendirian?!"
Pukulan bertubi-tubi menyerang tubuh rapuhnya. Jungkook semakin tak berdaya. Sementara, Ayah hanya berdiri disana.
"Mengapa, huh? Mengapa harus Taehyungku yang harus menanggung luka? Mengapa bukan kau saja?"
Jungkook menangis. Hatinya begitu teriris. Ibu masih membabi buta. Bahkan, rotan kayu entah sejak kapan sudah berada ditangan ibu. Melayang, melibas punggung kecilnya tanpa belas kasih. Jika Kak Taehyung terluka, Ibu akan berubah menjadi sosok yang tak bisa kenali.
Lidahnya sudah terlampau kelu. Berucap maaf bahkan tak sanggup lagi. Ibu terus mengumpatinya, memaki tanpa henti. Semuanya terasa nyeri. Semuanya terasa remuk. Hatinya, tubuhnya begitu hancur.
"I-ibu..."
Murka ibu baru berhenti ketika mendengar suara batuk Kakaknya. Yang lantas meninggalkan begitu saja tanpa rasa bersalah.
Jungkoo bisa melihatnya. Dirinya bisa melihat semua afeksi yang tumpah. Wanita itu tak henti-henti menghadiahi beribu kecupan pada dahi kakak. Dia bisa merasakan, rasa sakit yang tiada tara. Iri yang mulai menciptakan perandaian yang semakin menambah siksa.
Seandainya, ibu juga mau memeluknya. Jungkook sudah pasti akan menjadi manusia yang paling bahagia di Dunia.
Namun, bak kaca yang baru saja retak akibat hantaman kuat. Sentakan dari ayah menghancurkan impian sederhananya. Kembali menyeretnya kasar sampai dirinya jatuh berulang kali.
"Kau tidak pantas berada dikamar Taehyung."
Ayah berkata tanpa meliriknya. Masih terus memacu langkah yang membuat nya kewalahan. Ayah membuka pintu bertepatan dengan kakak sulungnya yang baru pulang. Raut kakak tampak bingung, namun tak bertahan lama. Ia kembali acuh lagi.
Angin malam mulai berdesak, menghantam tubuhnya yang sudah kepalang nyeri. Ayah melemparkannya diruang gelap begitu saja mencampakkan tanpa hati. Yang lantas menutup pintu, membiarkannya bermalam sendiri. Membiarkannya ketakutan dan menangis seorang diri. [....]
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS
FanfictionSisa hujaman yang membekas masih terasa perih. Tidak ada yang sudi untuk mengobati maupun peduli. Sejatinya Jungkook terlahir bukan untuk mendapatkan hak hidupnya. Ayah bilang, Kak Taehyung lebih membutuhkan itu dibanding dirinya. Waktunya sudah dik...