Memory'3

1.8K 220 16
                                    

Dia hanya terlalu bahagia menyambut hari yang telah lama dinantikan. Disetiap penghujung hari, disetiap malam yang hampir terlewati, senyum itu tak luput ikut menghiasi binar penuh harapnya. Ada angan yang senantiasa tersemat disetiapkali ujung penanya menggores melingkari tanggal-tanggal cantik dikalender. Tanpa sedikit pun terbesit, bahwa kebahagian yang diharap terlampau besar nyatanya lebih banyak menyakiti dan memberi rasa kecewa yang begitu mendalam daripada menjanjikan manis yang seperti gulali dalam memori.

Sudah dari pagi-pagi sekali ia berdandan dengan rapi. Berpakaian dengan pakaian terbaik yang ia miliki. Bahkan berulang kali membenahi tatanan rambutnya.

Jungkook sudah memantapkan diri bahwa hari ini ia takkan berisik, takkan tertawa berlebihan, dan menjaga sikapnya dengan baik supaya tak ada satupun orang yang merasa kesal dan hari tetap berjalan dengan baik sesuai dengan harapannya.

"Bu, Jungkookie sudah berjanji dari jauh-jauh hari untuk menjadi anak baik."

Ibu yang saat itu tengah sibuk berkutat menyiapkan barang bawaan kakak keduanya menaikkan sebelah alis, menyahut datar seperti biasa, "lantas."

"Pergi berliburnya Jungkook tetap akan diajak seperti tahun yang lalu, kan?"

Langkah kecilnya masih tak berhenti mengikuti kemanapun sang ibu pergi. Jungkook sudah menanti cukup lama, namun ibu sepertinya tak berminat untuk menjawab celetoh tak bergunanya.

Ia mencoba memberanikan dirinya sekali lagi untuk bertanya. Dengan nada ragu-ragu dan semakin memelan, "Jungkook ingin bertemu kak Jimin, ingin bermain. tidak apa-apa bila tidak ikut menaiki bianglala. Jungkookie hanya ingin itu saja--"

"Diamlah."

Dan setelah itu ia benar-benar terdiam. Hingga seluruh anggota keluarganya memasuki mobil satu persatu. Dan tibalah saat dirinya akan memposisikan diri duduk disamping sang kakak keduanya, suara ayah mengintrupeksi gerakannya.

Sembari menyodorkan kunci rumah, ayah berkata, "tolong ambilkan dompet ayah yang tertinggal didalam."

Tanpa curiga sedikit pun Jungkook lantas mengangguk, melangkah kembali memasuki rumah. Mencari keberadaan benda berharga milik ayah disepenjuru rumah. Namun, tidak ia temukan dimanapun.

Hingga belasan menit telah berlalu, Jungkook baru saja menyadari, mesin mobil ayah tak lagi berderu. Ia bergegas mencoba menapik rasa kecewa yang mulai mencengkram dada.

Namun sayang, ketika pijakan telah sampai didepan pintu, ketika dirinya telah sepenuhnya berdiri diluar rumah, Jungkook tak lagi menemukan  mobil ayah.

Rasa sepi yang seketika berbondong-bondong menghantam, membuatnya merasa sesak. Kekecewaan tampak jelas terpancar dari kedua bola matanya. Jungkook berkaca-kaca, memandang kosong halaman rumahnya sembari mencoba meraup udara dengan susah payah, "Ayah tinggalkan Jungkook."

Ia menunduk sembari menghela nafas. "Tega sekali. Mengapa?"

"Ibu tidak mendengar jika Jungkookie sangat rindu dengan kak Jimin?"

"Jungkook sudah menanti hari ini cukup lama.

"Sudah berjanji tidak akan berbuat nakal lagi. Sudah berjanji akan menjaga adik dengan baik supaya tidak menangis. Supaya ibu tidak perlu kelelahan. Juga Jungkook sudah berjanji untuk tidak meninggalkan kak Taehyung sendirian."

Susah payah dirinya menjaga pertahanan. Namun pada akhirnya tangisnya pecah. Airmatanya tak kuasa untuk dicegah. Suara yang selama ini hanya diperdengarkan dalam hati hari ini berhasil ia keluarkan. Tetapi rasanya, masih tetap sama. Begitu menyayat hati.

"Mengapa tidak boleh? Jungkookie anak ayah dan ibu juga, sama seperti kakak dan adik."

"Apa Jungkook nakal sekali? Jungkook sudah berjanji tidak akan nakal. Tetapi jangan tinggalkan Jungkook sendirian."

Jungkook masih setia berdiri didepan pintu rumah. Ia masih menyimpan harapan bahwa ayah mungkin terlupa bahwa dirinya tertinggal. Namun, hingga malam hampir berganti dengan pagi, mobil ayah tak juga terlihat.

Mata lelah yang menatap kosong halaman gelap rumah semakin lama semakin memberat. Jungkook berkedip sayu menahan kantuk yang mulai menyerang.

Belum lama netranya terpejam, suara klakson membuatnya harus terbangun dengan rasa pening yang hinggap dikepala.

"Cepat Jungkook, bantu ibu untuk menggendong adik. Ibu harus memindahkan kak Taehyung terlebih dahulu."

Namun, ketika netranya bersitatap dengan milik ibu, Jungkook kembali tak kuasa membendung rasa tangis kecewanya. Ia mencicit, "ibu tinggalkan Jungkook."

Tetapi ibu tak sedikitpun menampilkan raut rasa bersalah. Sebelum beliau menjawab cicitannya, ayah tahu-tahu sudah menyahut terlebih dahulu tanpa beban."cepat, jangan memancing keributan. Ayah sedang tidak ingin memukulmu."

Tidak ada pilihan lain selain menggangguk patuh. Meski dengan airmata enggan mau berhenti yang jadi saksi atas kekecewaan yang mendalam. Jungkook benci perasaannya yang terlampau bahagia.

[...]

     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang