- Caramia -
•••
Acara pernikahan Mia dan Ibra berlangsung dengan meriah, meski acaranya cukup tertutup. Hanya di hadiri oleh kerabat dekat dan rekan-rekan kerja Ibra. Sementara Mia sendiri hanya mengundang beberapa orang yang di kenalnya, termasuk empat pegawainya di Lamiavita. Dari dua ratus lima puluh undangan, Mia hanya mengambil bagian lima puluhnya. Sisanya di isi oleh orang-orang yang di kenal oleh Ibra.
Meski awalnya kedua orangtua Ibra menentang keras rencana pernikahan private ini, tapi mereka akhirnya luluh setelah Ibra memberikan beberapa alasan. Salah satunya karena Mia tidak ingin terlalu di sorot sebagai istri dari Ibrahim Aldebaran. Satu dari sepuluh pengusaha batu bara terkaya di Indonesia.
Awal pertemuannya dengan keluarga Ibra, Mia sempat di landa ketakutan luar biasa. Takut jika kehadirannya nanti tidak akan di terima dengan baik oleh calon mertuanya. Mia sempat membayangkan bagaimana jika calon ibu mertuanya itu akan menolak, menyiramnya dengan air untuk menyadarkannya, lalu melempar wajahnya dengan beberapa lembar uang atau cek dengan nominal fantastis seperti di drama-drama korea. Namun sayangnya, itu hanya ada di dalam khayalan Mia. Karena kenyataannya, Amira Aldebaran yang sekarang sudah menjadi Ibu mertuanya itu menerimanya dengan pelukan hangat. Semua anggota keluarga Ibra menyambutnya dengan baik. Termasuk Gunawan Aldebaran--Ayah mertuanya dan juga Abidzar Aldebaran--adik ipar yang terpaut usia tiga tahun di bawahnya itu. Mia cukup bersyukur karena Ibra membuatnya merasa seperti memiliki keluarga lagi.
Tamu-tamu banyak yang sudah pulang, hanya tersisa beberapa anggota keluarga yang tinggal untuk makan malam. Acara terakhir ini memang atas permintaan kedua mertuanya, katanya untuk mengakrabkan Mia dengan anggota keluarga mereka. Untung saja Mia sudah mengganti pakaiannya dengan gaun putih berlengan panjang yang lebih sederhana, jadi tidak terlalu ribet jika harus berlama-lama.
"Gimana perasaannya setelah resmi menjadi Mrs. Aldebaran?" Tanya Abi iseng.
Meskipun belum lama kenal, kepribadian Abi yang humble dan tidak pernah kehabisan topik membuat Mia tidak canggung mengobrol lama dengan adik iparnya itu.
Mia menopang dagunya dengan pandangan lurus kedepan, terlihat berpikir. "Aku nggak tau cara mendeskripsikan perasaanku saat ini, Bi. Ini masih terlalu baru. Tapi aku bahagia karena di terima oleh keluarga kalian." Mia tersenyum hangat saat matanya menangkap interaksi antara Ibra dan beberapa sepupunya. Laki-laki itu sepertinya sedang menjadi bahan gibahan para keluarga.
"Cinta banget ya sama Abang gue?" Tanya Abi, mengikuti arah pandang Mia.
Mia kembali tersenyum tanpa berniat menjawab.
"Mbak, selfie yuk!" Belum sempat Mia memberikan jawaban, Abi sudah lebih dulu mendekat dan mengarahkan kamera ke wajah mereka. Dan Mia tidak punya pilihan lain selain tersenyum dengan manis. Ada beberapa foto dengan berbagai macam gaya yang mereka ambil. Keduanya asik sendiri dan melupakan tempat dimana mereka berada.
"Ya Allah! Cantik banget sih kakak ipar gue." Seru Abi saat melihat hasil fotonya. Mia hanya bisa menggeleng kecil sambil terkekeh geli.
"Gue tag ke IG lo ya, Mbak." Abi asik sendiri dengan ponselnya. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu berseru heboh sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan Mia. "Liat deh, Mbak. Ada yang ngira lo itu pacar gue--Aduhh!" Abi tiba-tiba menjerit saat seseorang menarik telinga. "Mama! Ngapain sih? Telinga aku lama-lama bisa copot kalau di tarik terus." Gerutu Abi setengah meringis saat Amira akhirnya melepaskan telinganya dari tarikan maut.
"Yang sopan ngomong sama kakak iparnya. Jangan sampe mulut kamu itu di gampar sama Abang." Ujar Amira terdengar kesal. Wanita paruh baya itu berdiri di antara Mia dan Abi dengan tatapan siap menelan siapa saja yang berada di hadapannya.
"Ya elah, Ma. Nggak bisa santuy dikit apa. Jarak umurku dan Mia--"
"Mbak! Panggil Mia mbak, Abidzar." Sela Amira penuh penekanan. Matanya melotot siap menelan anak bungsunya itu bulat-bulat.
Abi memutar bola matanya malas. Lalu membungkuk 45 derajat dengan kedua tangannya yang menahan perut. "Maafkan hambamu yang hina ini Ibunda Ratu." Ujarnya penuh tata krama yang di balas dengan tepukan yang cukup kuat di bahunya.
Amira melotot dengan wajah memerah malu. Kelakuan anaknya yang satu ini memang sering malu-maluin. "Jangan bikin malu Mama, Abidzar." Tegurnya penuh peringatan lalu beralih menatap Mia, tatapannya berubah lembut saat menatap wajah cantik menantunya. "Maafin Abi ya, Mia. Dia memang suka malu-maluin."
"Nggak pa-apa kok, Ma." Ujarnya Mia tenang. Tidak lupa mengulas senyumnya.
***"Capek?"
Mia mengangguk. Dia baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan dirinya. Malam ini Mia mengenakan baju tidur model lingerie kimono set - white yang panjangnya beberapa senti di atas lutut. Baju tidur berbahan lace serta aksen renda di bagian dadanya, memberikan kesan seksi sekaligus menggoda meski tidak kekurangan bahan. Apalagi yang memakainya itu Mia.
Tadinya Mia sempat ragu, Diandra memberinya beberapa jenis baju tidur yang tidak manusiawi. Bahkan hanya melihatnya saja sudah membuat wajah Mia memerah karena malu. Beruntungnya Mia sempat membawa satu set baju tidurnya dari rumah. Kalau tidak, Mia mungkin akan tidur dengan Bathrobe.
"Mas, mau aku siapin air mandinya?" Tanya Mia setelah berdiri di depan Ibra.
Ibra menatap wajah polos Mia cukup lama sebelum akhirnya menjawab. "Nggak usah. Kamu istirahat aja." Dan setelah mengatakan itu, Ibra langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Mia menghembuskan napasnya lega, sembari mengusap-ngusap dadanya. Tanpa sadar Mia menahan napasnya selama Ibra menatapnya tadi.
Mia buru-buru mengeringkan rambutnya lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Menatap langit-langit kamar hotel dengan pikiran menerawang. Entah sudah berapa lama dia melamun, Mia baru tersadar saat selimut membungkus sebagian tubuhnya. Mia menoleh, menatap Ibra yang ikut berbaring di sampingnya. Laki-laki itu juga tidur dengan posisi telentang, dan langsung memejamkan matanya. Mungkin terlalu lelah setelah melewati serangkaian acara pernikahan mereka.
Tanpa sadar, Mia memperhatikan bentuk wajah Ibra dari samping. Alisnya tidak terlalu tebal namun tertata dengan rapi, bulu matanya juga cukup lentik untuk ukuran laki-laki, hidungnya yang mancung dan ramping sangat pas di padukan dengan bibirnya yang penuh. Meski seorang perokok, bibir Ibra sama sekali tidak menghitam. Rahangnya yang di tumbuhi oleh bulu-bulu halus, menggoda Mia untuk segera menyentuhnya. Tapi niat itu buru-buru dia urungkan mengingat seperti apa hubungan yang mereka jalani ini. Mereka tidak sedekat itu untuk saling menyentuh. Jadi jangan berharap lebih untuk malam pertama mereka. Malam ini mungkin akan sama saja dengan malam-malam berikutnya.
No touch...
no warmth...
Entah hanya perasaannya saja atau memang cuaca malam ini yang menjadi lebih dingin. Mia menarik selimut hingga menyentuh dagunya, "Good night, husband." Bisiknya pelan, berharap Ibra tidak akan mendengarnya. Mia ikut memejamkan matanya, bersiap menyusul Ibra ke alam mimpi.
Tapi tanpa Mia sadari, saat itu juga Ibra kembali membuka matanya. Menatap lurus langit-langit kamar dengan pikiran menerawang.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di atas kertas
Romance"Dua tahun. Hanya dua tahun dan setelah itu saya akan menceraikan kamu. Kamu bisa kembali ke kehidupanmu yang lama dan saya..." Ibra mengangkat bahunya acuh, "Seperti yang kamu lihat, kehidupan saya nggak akan berubah sekalipun kita menikah." Mia me...