08

752 96 13
                                    

- Caramia -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Caramia -

- Caramia -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Sudah satu minggu berlalu sejak malam itu dan Ibra masih saja bersikap dingin. Ibra secara terang-terangan menghindarinya, laki-laki itu bahkan lebih memilih tidur di ruang kerjanya untuk menghindari Mia. Tidak ada lagi sarapan bersama, karena saat Mia bangun Ibra pasti sudah berangkat kerja tanpa menunggu Mia yang biasanya menyiapkan pakaiannya. Atau Ibra pasti langsung pergi begitu saja tanpa perlu repot-repot pamit ketika Mia sedang sibuk di dapur.

Mia menghembuskan napasnya lelah, menatap nanar sarapan yang sudah satu minggu ini di abaikan oleh Ibra.

"Kamu kenapa sih, Mas?" Tanya Mia lelah.

Mbak Tati yang diam-diam memperhatikan interaksi Mia dan Ibra akhir-akhir ini ikut prihatin dengan keadaan Mia yang lebih sering melamun dan keliatan murung. Bukan bermaksud lancang tapi perubahan itu terlihat begitu jelas. Mia akan senantiasa memasang senyum palsunya ketika berhadapan dengan Ibra, meski Ibra sendiri berkali-kali mengabaikannya. Perempuan itu terlalu pintar menyembunyikan kesedihannya. Seperti saat ini, Mia yang tengah menelungkup di atas meja makan mulai terisak pelan. Dan itu cukup menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.

"Bu."

Mia yang tersadar masih ada Mbak Tati disini, dengan segera menghapus air matanya lalu kembali memasang senyum palsunya.

"Iya mbak?" Melihat Mbak Tati dengan sling bag-nya, Mia kembali bertanya. "Oh, udah mau pulang ya? Sebentar ya." Mia langsung membungkus semua makanan yang tadi di masaknya. "Ini di bawah pulang aja ya, buat adik-adik Mbak Tati di rumah."

"Ta-tapi, ini banyak banget Bu." Ujar Mbak Tati yang merasa tidak enak karena menerima banyak makanan dari Mia. Apalagi dia tahu kalau semua makanan ini di masak Mia khusus untuk Ibra.

"Gak pa-apa. Dari pada mubazir." Mia masih tersenyum lembut. "Hati-hati di jalan ya, mbak. Saya ke atas dulu."

Tanpa mendengar jawaban Mbak Tati, Mia langsung bergegas naik ke lantai dua. Hari ini dia akan menyibukan diri dengan membereskan kamar tidurnya dan Ibra. Mulai dari mengganti sprei, menyapu, mengepel dan menata kembali pakaian di lemari yang sebenarnya tidak berantakan. Semua itu dia lakukan hanya untuk mengalihkan pikirannya dari Ibra.

Setelah membereskan kamar, Mia memutuskan untuk mandi. Lama berperang dengan pikirannya di bawah guyuran air, Mia akhirnya memutuskan untuk membawakan makan siang untuk Ibra. Anggap saja ini salah satu upayanya untuk memperbaiki hubungan mereka yang akhir-akhir ini semakin berjarak.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kantor Ibra. Ini pertama kalinya Mia menginjakan kakinya di gedung 38 lantai ini, bukan karena Ibra melarangnya tapi Mia saja yang merasa tidak punya kepentingan untuk datang ke tempat ini. Pengecualian untuk hari ini.

Mia melangkah ke meja resepsionis dengan anggun. Hari ini Mia mengenakan dress selutut berwarna hitam yang sangat pas di badannya. Rambutnya dia biarkan terurai, meski hanya dengan riasan sederhana Mia tampak begitu cantik dan elegan.

"Permisi. Pak Ibra-nya ada?"

Perempuan yang duduk di balik meja resepsionis tersenyum ramah, "Sudah bikin janji sebelumnya, mbak?"

Mia terdiam sebentar, melirik name tag di dada perempuan itu 'Winda'. Lalu Mia menggeleng pelan. "Belum. Saya cuma mau nganterin makan siangnya."

"Mohon maaf, Tapi Bapak hanya menerima tamu sesuai janji temunya. Bapak juga gak sembarangan nerima makanan."

"Tapi---"

"Bu Mia?"

Mia dan Winda sontak mengalihkan pandangan ke arah suara. Di lihatnya Anton, asisten Ibra datang tergesa-gesa menghampirinya.

"Bu Mia kenapa gak langsung naik ke atas?"

Mia tersenyum lega dengan kehadiran Anton, "Saya..." Mia melirik Winda sejenak dan seakan mengerti itu Anton langsung melotot ke arah Winda.

"Kenapa kamu gak langsung anterin Bu Mia keatas? Kalau Bapak sampai tau, tamat riwayat kamu karena udah bikin istrinya nunggu disini."

Mendengar itu, Winda sontak berdiri kaku dengan wajah pias. Menatap Mia dan Anton secara bergantian.

"Ya Allah, Bu..." Winda membungkuk sambil merutuki dirinya yang bisa-bisanya tidak mengenali istri dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. "Maafin saya, saya bener-bener gak tau."

"Gak pa-apa. Kamu sudah melakukan tugas kamu dengan benar kok."

"Mari saya antar ke ruangan Bapak." Sela Anton yang kini sudah menampilkan senyum ramah tamahnya, tapi begitu Mia berlalu Anton kembali melotot ke arah Winda sambil membuat gerakan seolah sedang menggorok lehernya. Tanda bahwa nasib Winda sedang berada di ujung tanduk.

***

Begitu sampai di depan ruangan Ibra, Anton langsung pamit undur diri karena masih ada tugas dari Ibra yang harus segera dia kerjakan.

Mia menarik lalu menghembuskan napasnya berkali-kali untuk menenangkan debaran jantungnya, yang entah kenapa selalu menggila ketika akan berhadapan dengan Ibra. Mia mengetuk pintu di hadapannya dua kali sebelum akhirnya membuka pintu dan...

Pemandangan di hadapannya langsung membuatnya membeku. Kotak makan yang di bawanya jatuh membentur lantai, semua makanannya jatuh berserakan. Kondisi makanan itu sama seperti perasaan Mia saat ini ketika dia melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana seorang perempuan tampak nyaman duduk di pangkuan suaminya.

Dan sialnya, Ibra terlihat menikmati itu.

"Ma-maaf mengganggu." Dengan tubuh begetar, Mia berjongkok untuk membereskan kotak dan makanan yang berserakan di lantai dengan tergesa-gesa. Tidak ingin melihat kebersamaan Ibra dan perempuannya lebih lama lagi, Mia langsung bergegas pergi.

Bukan lift yang menjadi tujuannya, Mia memilih untuk membuka pintu tangga darurat dan langsung terduduk lemas di anak tangga.

Napasnya naik turun, dadanya sesak luar biasa. Mia beberapa kali memukul dadanya untuk mengurangi sesak di dadanya tapi yang terjadi malah air matanya yang turun deras tanpa bisa dia tahan. Mia menangis tergugu. Hatinya sakit luar biasa tapi dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena sejak awal Ibra memang sudah memperingatinya untuk tidak jatuh kepada laki-laki itu. Tapi memangnya Mia bisa apa kalau hatinya menginginkan Ibra?

Mia menangis cukup lama sampai akhirnya rasa lelah itu datang dan Mia memutuskan untuk pulang. Pulang yang dia maksud disini adalah pulang ke Lamiavita. Sebelum keluar dari tempat persembunyiannya, Mia tidak lupa untuk kembali memasang senyum palsunya. Kembali memerankan karakter perempuan kuat seperti yang selama ini dia tunjukkan.

"You are strong, you can deal with all this. Wait a little longer, Caramia." Ujar Mia pelan, sedang menyemangati dirinya sendiri.

Meskipun begitu, air matanya masih sesekali lolos tapi buru-buru di hapusnya. Sungguh, Mia tidak ingin terlihat menyedihkan seperti beberapa tahun yang lalu.


Tbc.

Di atas kertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang