06

996 110 14
                                    

- Caramia -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Caramia -

Sudah enam bulan berlalu sejak momen sakral itu terjadi, tapi hubungan keduanya masih seperti orang asing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah enam bulan berlalu sejak momen sakral itu terjadi, tapi hubungan keduanya masih seperti orang asing. Meskipun begitu, harus Mia akui Ibra memperlakukannya dengan baik. Baik selayaknya manusia pada manusia lainnya. Seperti menghabiskan apapun makanan yang Mia sajikan tanpa banyak protes, selalu mengucapkan terimakasih untuk semua usaha Mia dalam mengurus keperluannya mulai dari menyiapkan setelan kerja, menyiapkan sarapan setiap hari meski di rumah ada Mbak Tati--asisten rumah tangga yang di pekerjakan oleh Ibra.

Semua itu Mia lakukan atas kesadaran dirinya sebagai seorang istri, meski Ibra sendiri tidak pernah berlaku layaknya seorang suami pada umumnya. Laki-laki itu memang memberikannya nafkah berupa uang bulanan yang bahkan lebih dari yang Mia harapkan, tapi hanya sampai disitu saja. Jangan mengharapkan nafkah lainnya. Miris bukan? Tidak ada pujian karena masakan yang enak, tidak ada ucapan selamat malam dan pelukan hangat menjelang tidur. Bicarapun hanya seperlunya, sandiwara pasangan suami istri yang harmonis hanya berlaku di depan umum. Keduanya seperti orang asing meski tidur di kasur yang sama.

Tidak apa-apa, Mia masih bisa bertahan.

Sudah menjadi rutinitas paginya untuk menyiapkan Ibra sarapan, laki-laki itu terbiasa sarapan dengan makanan berat karena itulah Mia memutuskan untuk menyiapkan nasi goreng dan omelet sayur.

"Thank you."

Mia hanya mengangguk sembari mengulas senyumnya. Selain menyiapkan makanan, Mia juga terbiasa menemani Ibra sarapan. Sekali lagi, Mia melakukan semua itu dengan suka rela dan beruntungnya Ibra juga tidak pernah protes. Melihat Ibra yang dengan lahap menghabiskan makanannya adalah pemandangan yang selalu Mia tunggu-tunggu, seakan hal itu saja sudah cukup untuk menutup kekecewaannya yang lain.

"Kamu nggak sarapan?" Tanya Ibra karena sejak tadi Mia hanya meminum tehnya.

"Aku nggak biasa sarapan." Mia menjawab tenang. Namun, berbeda dengan reaksi Ibra.

Ibra tertegun. Jawaban Mia seolah menamparnya--menyadarkannya akan satu hal yang sudah dia lewatkan.

"Sejak kapan?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ibra setelah beberapa saat terdiam.

Mia yang tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu, agak kaget. "Aku lupa sejak kapan pencernaanku mulai terganggu..." menjeda kata-katanya, Mia balas menatap Ibra yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Mia artikan. "Memangnya kenapa, Mas?"

Ibra menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya dengan meneguk kopi hitamnya.

"Aku berangkat."

Mia dengan sigap berdiri dan meraih tangan kanan Ibra, selayaknya seorang istri yang mengantarkan suaminya pergi bekerja--Mia mencium punggung tangan Ibra dan laki-laki itu berlalu tanpa suara.

Seperti biasa tapi sulit untuk terbiasa.

Setelah Ibra pergi, Mia kembali duduk di tempatnya dengan wajah mendung. Hembusan napas berat itu terdengar seiring dengan Mia yang sudah membenamkan wajahnya di meja makan. Merenungi kehidupan rumah tangganya yang baru seumur jagung. Tidak ada yang Mia sesali meski sakit harus terus menahan perasaannya. Terlepas dari itu semua, Mia tetap bahagia karena menjadi istri dari Ibrahim Aldebaran.

Tidak ada yang salah dengan seorang istri yang mencintai suaminya. Yang salah itu kalau suaminya adalah Ibra. Laki-laki yang sejak awal sudah mendirikan tembok di antara mereka.

Mia tahu statusnya hanyalah istri di atas kertas, dan tidak seharusnya Mia menaruh harapan untuk pernikahan yang akan berakhir dalam satu tahun enam bulan kedepan. Tapi harapan-harapan itu terus tumbuh dengan sendirinya. Lalu apa yang harus Mia lakukan? Mia sendiri bingung bagaimana harus menghentikan hatinya.


•••


"Kamu kok kurusan, sayang?" Melinda beralih menatap Ibra dengan tatapan menyelidik, "Kamu apain menantu Mama sampe kurusan gini?"

Weekand kali ini mereka habiskan di rumah orang tua Ibra setelah berkali-kali di teror oleh Melinda yang katanya sudah sangat merindukan Mia.

"Jangan suka suudzon sama anak sendiri." Jawab Ibra tenang.

Meski awalnya sedikit terganggu dengan tuduhan-tuduhan seperti itu, lama-lama juga Ibra mulai terbiasa. Atau lebih tepatnya mencoba membiasakan diri. Sejak menjadi menantu di rumah ini, Mia menjadi pusat kasih sayang semua orang. Melinda menyayanginya lebih dari anak kandungnya sendiri. Hal itu bisa Ibra simpulkan dari beberapa kejadian yang terjadi pada Mia, otomatis dirinya langsung di jadikan tersangka utama. Tiga bulan yang lalu Mia sempat jatuh sakit karena kehujanan saat dalam perjalanan pulang dari Lamiavita, entah bagaimana bisa padahal Ibra sudah menyiapkan mobil dan supir pribadi. Tapi Melinda tetap tidak peduli akan hal itu, baginya Ibra tetap bersalah. Ibra di tuduh sebagai suami yang tidak becus menjaga istrinya, tidak peka dan kurang perhatian.

"Ini pasti karena kamu kurang perhatian sama istri, iya kan?"

Lihat, kan? Melinda tidak akan berhenti sebelum Mia sendiri yang membuka suara.

"Mama kalau nggak percaya, tanya sendiri sama menantunya." Jawab Ibra malas.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Mia memutuskan untuk menengahi perdebatan antara mertua dan suaminya. "Ma, aku beneran nggak pa-apa kok. Mungkin karena aku lagi sering olahraga sekarang, makanya berat badan aku turun."

Melinda langsung beralih menatap Mia, ekspresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ibra sampai terheran-heran melihatnya.

Melinda memegang tangan Mia dan tersenyum lembut. "Kamu jangan olahraga yang berat-berat dulu ya, fokus aja ke pembuatan cucu Mama. Semua teman-teman Mama udah pada punya cucu, tinggal Mama aja nih yang belum." Melinda menghembuskan napasnya pelan dengan pikiran menerawang, "Pasti bakalan rame kalo ada anak kecil di rumah ini..."

'Gimana bisa hamil kalo aku aja belum pernah di unboxing Ma.'

"Jangan terlalu di pikirkan."

Seolah bisa membaca pikirannya, Ibra berbisik pelan meski tatapannya masih fokus ke leptop. Entah berapa lama Mia melamun, saat sadar Mia tidak lagi melihat keberadaan Melinda. Hanya ada dia dan Ibra yang tengah fokus membaca beberapa email yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Meski Ibra bicara tanpa menatapnya, Mia cukup senang karena itu artinya Ibra memperhatikannya bukan?

"Wajar kalo Mama ngomong kayak gitu. Aku rasa, semua orang tua juga menginginkan hal yang sama." Mia menunduk, memainkan jari-jarinya. "Itu juga impian setiap perempuan, Mas. Menikah, hamil, lalu melahirkan anak-anak yang lucu dan hidup bahagia."

"Itu juga impian kamu?" Kali ini Ibra menatap Mia, menunggu sampai akhirnya Mia membalas tatapannya. Sepertinya Ibra mencoba mencari jawaban dari mata itu dan Mia takut kalau ternyata dia bukanlah orang yang pintar berbohong.

Mia tersenyum teduh dan kembali mengalihkan pandangannya. Tidak kuat berlama-lama menatap mata itu. Mata yang seolah bisa menelanjanginya sampai ke bagian terdalam.

Mia mengangguk pelan. "Aku hanya ingin punya keluarga lagi." Entah keberanian dari mana, Mia menggenggam satu tangan Ibra yang semula berada di atas keyboard lalu tersenyum menatap laki-laki itu. "Makasih ya, Mas. Karena kamu, aku bisa ngerasain lagi rasanya punya keluarga. Dan aku janji sama kamu... Aku akan benar-benar memanfaatkan sisa waktuku dengan baik."

Tbc.

Di atas kertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang