"Hallo, Saga. Gue Sandra."
Saga yang tengah diam-diam mengamati Kikan yang tengah tertidur itu mendongak setengah terkaget. "Eh iya, kenapa?" ucapnya yang tidak menangkap jelas apa yang cewek di depannya ucapkan.
Sandra tersenyum. Wajahnya cantik dengan lesung pipi yang manis. "Gue Sandra, kita belum berkenalan secara resmi," ulangnya seraya mengurulkan tangan.
"Oh iya." Saga menjabat uluran tangan Sandra. "Saga."
Sandra terkekeh kecil. "Iya, udah tau kok," ucapnya.
"Oh iya, karena kemarin lo ke UKS. Gue mau ngasih tahu kalo Bu Nurin kasih tugas kelompok."
Sandra menyodorkan secarik kertas yang berisikan 7 nama. Karena Saga belum bisa mengenal semua nama teman sekelasnya, Saga hanya bisa tahu bahwa dirinya sekelompok dengan Sandra, Vanya, dan ... yang terakhir itu nama Kikan kan?
"Wah sekelompok sama Kikan," ujar Saga yang sedikit dibumbui rasa senang. Sangat bertolak belakang dengan ekspresi yang Sandra tunjukan begitu mendengar kalimat itu.
"Eu ... itu, Kikan nggak pernah ikut kerja kelompok," jelasnya dengan sedikit tersendat. Antara tak enak untuk menjelaskannya, namun ketika dirinya diam saja Saga pasti salah paham.
"Loh kenapa?"
Sandra meringis, menggaruk tengkuknya bingung. "Kikan itu kayak ... nggak mau interaksi sama yang lain," jelasnya hati-hati. "Ya mungkin lo juga pernah lihat bagaimana perlakuan dia sama Vanya, jadi...."
"Jadi kalian mendiskriminasi Kikan gitu?" tuding Saga dengan nada sedikit kesal. Saga sendiri tidak mengerti mengapa ia berekspresi begitu. Padahal bisa saja ini memang murni salah Kikan.
Apa Saga mengidap sejenis sindrom bahwa yang dekat dengannya benar, jika salah pun harus dibela. Penilaian subjektif seperti itu lumrah terjadi. Hanya saja Kikan pasti akan protes tak terima jika Saga menyebut Kikan sebagai orang yang dekat dengannya. Meskipun fakta. Di kelas ini, hanya Kikan yang Saga kenal bukan?"Bukan gitu," Sandra menyangkal dengan wajah panik. "Kita nggak ngelakuin itu, bahkan Kita tetep cantumin nama Kikan, meski dia nggak ikut kerja."
Saga mangangguk mengerti. Ah iya, Kikan memang salah dalam kasus ini. "Jadi tugas dari Bu Nurinnya apa?" tanya Saga mengalihkan pembicaraan.
Sandra lagi-lagi menarik senyum manis. "Gimana kalo gue minta nomor lo aja? Nanti gue share di sana. Sekalian buat diskusi di mana nanti kita kerja kelompoknya," papar Sandra dengan kerlingan mata yang menyiratkan maksud tertentu.
"Boleh," jawab Saga merogoh ponselnya tanpa banyak pertimbangan.
Membuat Sandra yang memang dari awal punya niat terselubung tersenyum penuh kemenangan."Nih, lo salin aja."
Sandra menerima ponsel itu dengan baik kemudian mulai memasukkan 12 angka pada ponselnya.
"Eh ada nomor Kikan? Gue minta sekalian."
Ucapan Saga membuat Sandra mendongak dengan ulas senyum yang sedikit memudar.
"Eu ... Gue nggak ada nomor Kikan," jawabnya yang lagi-lagi terlihat hati-hati.
"Lah terus ngehubungi dia gimana?" Saga mengusap wajahnya begitu menyadari pertanyaannya hanya akan menghasilkan jawaban yang sudah dibahas tadi. Kalau Sandra ini tipe yang nyablak, pasti dia akan bilang, buat apa nomor Kikan, toh nggak bakal ikut ngerjain juga.
"Kita semua nggak ada yang tau nomor Kikan. Kita bukan nggak nyoba sosialisasi, tapi mungkin ya, lo bisa ngira-ngira Kikan sendirinya gimana."
Setidaknya Sandra bukan orang yang nyablak seperti itu. Meski maksud kalimatnya sama saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Person [TAMAT]
Teen FictionDikeluarin dari sekolah, bolak-balik club, hura-hura manfaatin harta orang tua, bully orang lain ... Apalagi? Ayo sebutin. Bukannya diam-diam kamu juga ngumpat 'jalang' dan berdoa semoga masa depanku suram? Ini adalah kisah pedih bagi mereka yang ma...