31. Pengakuan

2.5K 463 63
                                    

"Sandra ke mana sih? Bentar lagi bel, masa dia nggak masuk. Dia ada bilang sama sama lo kenapa gitu, Sy?" tanya Anjel pada Usy yang tengah sibuk berkutat dengan ponselnya.

"Nggak tahu, dia juga nggak bilang sama gue. Padahal dia bukan tipe yang suka bolos."

Meski tak peduli, obrolan itu tetap masuk ke dalam telinga Kikan yang harus melewati kerumunan di bangku depan itu untuk mencapai bangkunya yang ada di belakang.

"Ini pasti gara-gara lo kan?!"

Kikan sedikit tersentak ketika salah seorang menarik tangannya kemudian menuding dengan tatapan tajam.

"Sandra nggak masuk pasti gara-gara lo!"

Mereka yang sudah terbiasa terlihat buruk, sangat mudah dijadikan kambing hitam jika terjadi sesuatu yang bahkan tak diketahuinya.
Dan mereka yang sudah melihat titik lemah seseorang pasti akan tinggi hati untuk semakin menginjaknya.
Kikan ada di dua titik itu, hingga mereka pun meresa berhak untuk semena-mena.

Ponsel Kikan berbunyi. Kikan sedikit heran ketika orang yang tengah mereka bahas kini justru mengiriminya pesan.

-Temui gue sekarang

Jadi memang karena dirinya dia tak masuk belum berada di kelas? Ya meskipun berbeda konteks dengan yang mereka tuduhkan.

Kikan menarik tangannya dengan satu sentakan. Tanpa peduli wajah orang-orang itu yang sudah kesal, ia pergi dari sana.

"Woy! Nggak sopan banget lo main nyelonong aja!" pekik Anjel yang sudah seperti orang yang siap menerkam.

"Ki, mau ke mana?" cegah Saga yang baru mencapai ambang pintu. Ia tak terlalu mendengar percakapn Kikan dan anak-anak cewek itu. Namun melihat Kikan hendak pergi keluar di saat bel masuk berbunyi, tentu ada satu hal.

"Ada urusan."

Saga meraih tangan Kikan kemudian menangkupnya. "Lo demam, Ki?" tanya Saga khawatir. Ia menilik wajah Kikan pun terlihat pucat pagi ini.

"Gue nggak papa." Kikan melepaskan tangan Saga seraya menyunggingkan senyuman.

"Gue pergi dulu, lo belajar yang bener."

oOo

Kikan mulai menapaki kawasan bangunan-bangunan yang tak terpakai lagi. Mungkin sebelumnya terjadi kebakaran di sini, namun penghuninya memilih pindah daripada memperbaiki. Sandra cukup cerdas untuk memilih tempat yang sepi.

Kikan menangkup keningnya ketika lagi-lagi kepalanya berdenyut nyeri. Suhu tubuhnya semakin meninggi, Kikan menyadari dari hembusan napasnya yang hangat.

Namun, sekali lagi itu bukan hal yang patut dapat perhatian dari dirinya. Dari dulu, hidup Kikan hanya dipusatkan pada satu tujuan. Tindakan yang dipilihnya tentu apa pun yang mengarah ke sana.

Kikan berbalik begitu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dia tak memakai seragam seperti Kikan. Obrolan teman-temannya tak salah, Sandra memang membolos.

"Ada apa?" Kikan memeperhatikan baik-baik Sandra yang menatap sinis padanya.

Kikan melabelinya Ular. Memang bukan hanya Sandra satu-satunya orang yang bersifat demikian. Ada banyak sekali orang pengidap Megalomania, merasa dirinya paling benar. Menilai orang lain salah dan hanya dirinyalah yang layak mendapat pengakuan baik. Egonya yang tinggi terkadang membuatnya kalap akan kemampuan sendiri.

Bad Person [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang