- 4. Seorang Kikan -

4.9K 688 122
                                    

Peduli terkadang hanya menjadi pemanis mencampuri.

oOo

"Ki-kan," eja Hardi Santoso, sang Kepala Sekolah yang terlihat menahan kesal. Tangan terlipat di depan dada dengan tatapan jengah yang di saat bersamaan ia juga tahu tidak bisa meluapkan emosinya itu.

Kikan duduk dengan tangan bersidekap di atas meja. Ada noda kemerahan pada lengan sebelah kiri bajunya, yang tak sengaja tercipta sekaligus menjadi bukti bahwa ia telah menyerang orang lain.

"Belum ada 3 bulan kamu sekolah, bahkan ini baru menginjak minggu kedua di semester baru, ini ulah kamu yang ke berapa Kikan?"
Hardi mengurut pangkal hidung. Seharusnya sebagai kepala sekolah ia tak perlu pusing akan masalah yang diperbuat peserta didiknya seperti ini. Ada hukuman yang menjadi konsekuensi atas setiap pelanggaran yang dilakukan, yang sudah tertera jelas. Harusnya hal itu saja cukup untuk menjadi penyelesaian, jika saja yang di hadapannya ini bukanlah seorang Kikan.

"Bapak panggil saya buat bilang itu?" Kikan memasang wajah lugu. "Padahal nggak perlu repot-repot loh, Pak. Anak lain juga beres ditangani sama BK."

Hardi menatap Kikan dengan tatapan tak percaya. Ada sedikit sungging senyum sebagai ungkapan atas betapa lucunya situasi ini, dalam arti kedua.

"Iya, saya tak perlu urusin kamu, biarin BK hukum kamu, begitu maksudnya?"
Mungkin sejak pertemuan pertama sebagai anak baru waktu itu, Hardi sadar dirinya tak bisa menampilkan titel Kepala Sekolah di hadapan gadis ini.

"Ucapan Bapak itu berkesan kalau Bapak enggak pengen saya kena masalah, Bapak pengen melindungi saya." Kikan terkekeh.

"Begini, Bapak kayaknya salah paham deh sama maksud saya waktu itu." Kikan menegakkan tubuhnya, tangannya yang diletakkan di atas meja saling bertaut menunjuk situasi serius.

"Saya nggak pernah berniat meletakkan Bapak di telunjuk saya. Seperti membuat Bapak harus melindungi saya dari setiap hukuman ketika saya membuat masalah. Saya bahkan bertanya-tanya loh Pak, kenapa Bapak punya inisiatif seperti itu padahal saya sama sekali nggak pernah nyinggung ke sana."

Hardi menatap gadis di depannya dengan ekspresi campur aduk. Antara gemas, kesal, marah, ingin mencabik, bahkan kalau perlu lemparkan saja dia ke kandang Singa. Setelah membuat Hardi pusing tujuh keliling, ditatap aneh oleh bawahannya--guru BK, karena terus membela gadis itu, sekarang dia bilang jika yang dilakukan Hardi itu tidak perlu? Ya Tuhan.

"Karena Bapak udah bikin saya terharu, saya mau balas budi biar Bapak nggak terus-terusan pusing. Bapak nggak perlu lindungi saya dari BK. Saya siap dihukum atas apa pun yang sudah saya lakukan. Saya kira kesepakatan dulu itu jelas, saya jaga rahasia Bapak dan saya keluar dari sekolah ini jika karena keinginan saya sendiri. Selebihnya saya sebagai murid biasa, saya ikuti semua aturan--maksudnya hukuman yang ada di sini." Kikan menarik senyuman sebagai penutup dari penuturan panjangnya.

Hardi menghela napas, "Ya Tuhan, dosa apa saya dipertemukan sama orang seperti kamu."
Kikan hanya tersenyum. Sebenarnya Hardi sendiri yang mempersulit dirinya. Mungkin ini yang disebut ketakutan hanya menghadirkan kebodohan dan tak akan ada pendosa yang mendapat ketenangan.

"Dosa Bapak 'kan bukannya 'yang itu'?"

Hardi kembali menurunkan wajahnya dan menatap Kikan yang sudah tersenyum penuh kemenangan. "Iya dosa saya 'yang itu', yang kamu jadikan senjata untuk mengancam saya," tutur Hadi dengan nada kesal.

Kikan tertawa senang. "Bapak berlebihan deh. Saya 'kan nggak pernah ngancem bapak apa-apa."

"Memang tidak pernah mengancam, tapi sekali kamu tak berpihak pada saya, hidup saya bakal jadi berantakan."

Bad Person [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang