1. Perdebatan

94 9 10
                                    

"Jani, makin cantik aja deh."

Rinjani hanya melirik sekilas cowok yang memegang dasi itu. Selalu seperti itu setiap kali cowok-cowok menggodanya.

"Makin hari makin dingin aja udah kayak es batu," seloroh gadis berambut sebahu yang tiba-tiba saja berada di samping Rinjani.

"Terserah, gue nggak peduli sama pendapat siapa pun. Termasuk lo," ucap Rinjani dingin.

Gadis berambut sebahu menyengir lebar. Sudah sangat kebal dengan sikap temannya itu.

"Jani jangan dingin-dingin gitu, ah. Kayla malah makin gemes tahu nggak."

Rinjani memutar kedua bola matanya malas. "Mending lo diem Kay. Sebelum gue lari ke dalem kelas terus lempar lo pake meja."

"Sadeeees!" komentar Kayla kemudian tertawa. Rinjani geleng-geleng kepala.

Sampai di dalam kelas Rinjani menghela napas kasar, karena lagi-lagi melihat mejanya dipenuhi bunga, cokelat, serta beberapa surat cinta. "Lama-lama gue nggak bisa bedain, mana meja gue dan mana kuburan."

Mendengar itu Kayla cekikikan. Cepat-cepat dia membongkar tas sekolahnya, mengambil plastik besar yang selalu ia bawa lalu membukanya lebar-lebar.

"Masukin Sini, gue selalu siap menampung sampah-sampah lo," ujarnya semangat.

"Kayaknya gue perlu kasih pengumuman pake toa, jangan pernah taro barang-barang nggak penting di atas meja gue kalo nggak mau gue hajar! Kesel banget sumpah!" geram Rinjani yang kini berkacak pinggang.

"Udahlah jangan marah-marah mulu. Masih pagi oy! Lagian harusnya lo ngerasa beruntung banyak cowok yang suka sama lo sampe segitunya. Apalah gue ini, jangankan yang suka yang deketin aja nggak ada," ucap Kayla dengan mimik wajah yang dibuat nelangsa.

Duduk di atas meja setelah melempar tasnya, Rinjani menatap Kayla sembari bersedekap. "Denger, ya, Kay. Apa artinyanya, sih, semua kata-kata sampah yang keluar dari mulut cowok-cowok itu? Mereka deketin kita itu cuma buat nyakitin kita."

"Pandangan lo ke cowok agak keterlaluan Rinjani." Kayla menggeleng dramatis. "Nggak semua cowok itu sama, ngerti?"

"Lo terlalu naif kalo percaya sama kata yang orang-orang sebut cinta, setia, ketulusan dan apalah itu. Saat lo dibuat jatuh cinta, lo cuma nunggu waktu buat terluka."

Final. Rinjani tetap kukuh dengan prinsipnya. Pada akhirnya Kayla hanya bisa menghela napas dan menunggu kesempatan lain untuk mendebat Rinjani.

***

Terburu-buru keluar dari salah satu stand di kantin, Rinjani justru tersungkur di tengah kermaian murid yang berlalu-lalang—nyaris terinjak. Mangkuk berisi bakso di tangannya jatuh, terbelah menjadi dua menyebabkan isinya tumpah ruah.

"Ck!" decak gadis itu sembari mengangkat kedua telapak tangannya yang memerah karena menyentuh kuah bakso panas.
"Ssshhh."

"Lo nggak papa?" Suara berat itu terdengar bersamaan dengan tangan kekar yang terukur menyentuh lengan Rinjani.

Mengetahui itu seorang cowok, Rinjani menepis kasar tangan cowok itu tanpa melihat siapa orangnya.

Susah payah gadis bermanik hitam itu bangun. Menatap tak bersahabat pada cowok jangkung di hadapannya.

"Nggak usah sok baik," ujar Rinjani kemudian berbalik pergi. Namun pergerakkannya terhenti saat cowok jangkung itu menahan pergelangan tangannya. "Lepas!"

"Lo itu kenapa, sih? Jangan mentang-mentang lo cantik terus lo bisa seenaknya ya, masih untung mau ditolongin," sinis cowok itu.

"Gue nggak ngerasa cantik kayak yang lo bilang, gue juga nggak butuh bantuan dari lo," tukas Rinjani.

Bukan PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang