10. Tinggal Kenangan

25 2 0
                                    

Hari itu, sekitar jam sebelas siang, Rinjani sudah nangkring di teras rumahnya. Dengan dress toska selutut dan rambut yang dihiasi kepangan rumit, cewek itu menanti tidak sabaran.

Cukup lama ia menunggu hingga seseorang dengan motor hitam berhenti tepat di depan rumahnya.

Rinjani tersenyum sembari melambaikan tangan. Membuat cowok itu turun dari motor menghampiri Rinjani.

"Mana Bunda?" Adalah kalimat pertama yang cowok itu ucapkan.

"Ada di dalem, ayok masuk."

Tepat setelah melewati pintu, terlihat Bunda tengah tersenyum lebar. "Eh, ada anak ganteng," sapanya bersemangat.

Cowok itu, Meru, lantas terkekeh kemudian mencium tangan Bunda. "Izin ajak Rinjani pergi, ya, Bun."

"Hm, boleh. Asal dibalikin lagi aja," jawab Bunda disambut tawa renyah dari Meru dan Rinjani.

"Siap Bunda! Nanti Rinjani dibalikin dalam keadaan sehat wal afiat." 

"Kalo gitu kita berangkat, ya, Bun. Assalamu'alaikum."

***

Meru menaiki motor lebih dulu, menurunkan step untuk Rinjani kemudian kembali menegakan punggung.

Kedua sudut bibir Rinjani berkedut menahan senyum.

Perhatian kecil itu ... perlakuan manis itu ... mungkin hanya Meru yang bisa melakukannya.

"Udah?" tanya Meru di balik helm-nya.

Rinjani mengangguk. "Udah." Detik berikutnya motor besar Meru melesat meninggalkan dedaunan yang berhamburan terhempas angin akibat deru motornya.

"Mau masak apa, Jan?"

"Hah?!" sahut Rinjani setengah berteriak.

"Mau masak apa?" ulang Meru.

"Nggak tahu bingung," jawab Rinjani sembari tertawa.

"Yeeee."

"Burger aja gimana?"

"Emang bisa bikinnya?"

"Bisalah!" jawab Rinjani sewot. Meru terkekeh. "Tapi lo suka nggak?"

"Kok nanya gue? Kan lo yang mau makan."

"Gue kan mau kasih lo juga. Emang lo nggak mau makan?" Alis gadis itu sampai bertaut saat mengatakannya.

"Nggak usah, lo aja."

"Nggak bisa gitu, kita masak bareng masa cuma gue yang makan," protes Rinjani sebal.

Meru menghela napas. "Oke, mau beli bahan-bahannya di mana?"

Sesaat Rinjani termenung. Tempat di mana dia pernah membeli bahan-bahan untuk membuat burger cukup jauh dan saat ini matahari sedang terik-teriknya, yang ada dia sudah gosong sebelum sampai tujuan.

"Ngh ... kita bikin brownis aja gimana? Lo suka brownis nggak?"

"Hm, terserah lo aja. Brownis lebih gampang. Ada yang instan, di minimarket banyak."

"Terus serunya di mana kalo beli yang instan?" Kali ini Rinjani memasang wajah cemberut, tepat saat Meru meliriknya.

"Ya udah. Lo tahu bahan-bahan apa aja yang harus dibeli? Bisa bikinnya kan?"

Lagi, Rinjani termenung. "Nggak bisa," desahnya lesu. Sontak saja Meru mendengkus.

"Ayok ke minimarket aja."

"Tahu gitu kita nggak usah jauh-jauh panas-panasan gini Rinjaniiiii," ujar Meru gemas. Rinjani cengengesan.

Gadis bermanik hitam meletakan ponselnya di kupluk hoodie Meru, lalu kedua tangannya berpegangan kepada sisi hoodie cowok itu.

"Naro apa?" tanya Meru.

"Handphone."

Singkat cerita mereka berdua sampai di depan minimarket.

Langkah keduanya berderap beriringan.

"Yang ini bukan, Ru?" tanya Rinjani sembari mengangkat bungkusan berwarna cokelat dan vanila.

Meru menangguk. "Iya itu. Mau rasa apa?"

"Cokelat aja, deh." Manik hitamnya jelalatan menelusuri rak yang dipenuhi bahan makanan. "Udah ini aja?"

"Coba liat." Meru mengambil alih bungkusan di tangan Rinjani, membaca sesuatu di sana. "Mentega cair ada, ini juga ada ... tinggal beli telurnya."

"Beli keju juga, ya, buat topping-nya?"

"Hm, boleh."

Setelahnya Rinjani dan Meru pergi ke kasir untuk membayar. Saat pelayan minimarket menyebutkan nominal yang harus dibayar Rinjani segera meronggoh saku celana jeansnya, namun tangan Meru lebih dulu terulur menyodorkan selembar uang seratus ribuan.

Rinjani mengangkat alis, membuat Meru tersenyum manis. "Gue aja nggak papa."

***

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab wanita cantik itu tanpa menoleh. Dia baru menoleh saat Rinjani menyodorkan tangan.

"Eh, siapa ini?" Wanita itu tersenyum. Membuat Rinjani melebarkan senyum canggungnya. Maklum ini pertama kalinya Rinjani bertemu orang tua Meru.

"Temennya Meru, Bunda," jawab Rinjani kaku.

"Yah, sayang banget ibu mau pergi. Nggak papa, ya, ibu tinggal?"

Rinjani mengangguk masih dengan senyumnya. "Heem, nggak papa, Bun."

Ya dan begitulah, setelah duduk sebentar, bermain dengan kucing-kucing Meru, Rinjani dan Meru mulai beraksi di dapur.

Rinjani sibuk mencampur telur dengan adonan, sedangkan Meru tengah menyiapkan mentega cair untuk gadis itu.

"Jangan lama-lama diaduknya nanti bantet," ujar Meru mengingatkan.

Rinjani menoleh, meberikan seluruh atensi pada Meru. "Bukannya semakin diaduk malah semakin bagus, ya, adonannya?"

"Teori dari mana itu?" Disentilnya kening lebar Rinjani hingga si empunya meringis pelan.

"Ini udah semua, mana cetakannya?"

"Mau yang bulet atau kotak?"

"Yang kotak aja."

"Terus mau dikukus atau di oven?"

"Enaknya diapain?"

"Dicium," jawab Meru sembari memonyongkan bibirnya.

Rinjani menarik salah satu ujung bibirnya, menatap mata dan bibir Meru bergantian. "Mau?" bisiknya pelan.

Meru lantas mendekat. "Boleh," jawabnya dengan cengiran lebar.

"Tutup matanya."

Tanpa diperintah dua kali Meru menutup matanya.

Rinjani mengulum bibir menahan tawa. Dia mencolek sedikit adonan brownis lalu mengoleskannya ke bibir Meru. Detik selanjutnya tawa Rinjani pecah.

"Nggak lucu!" Meru melotot kesal. Wajah ngambeknya justru membuat Rinjani semakin terbahak.

***

Rinjani menggelengkan kepalanya rusuh. Kenapa dia tiba-tiba mengingat kenangan kelewat manis bersama Meru?

Dia pasti sudah tidak waras.

"Bajingan!" desis Rinjani jengkel.

_Tbc_

See u❤

Bukan PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang