"Jani!" Cowok itu melompat ke hadapan Rinjani dan mengagetkan gadis itu.
"Setan!" teriak Rinjani spontan.
"Kejam." Meru cemberut. "Jalan-jalan yuk Jani." Wajah cemberutnya seketika berubah cerah.
Membetulkan posisi tasnya yang merosot, Rinjani berjalan melewati Meru tanpa perasaan.
Meru menganga. Tidak percaya Rinjani semakin tidak menganggap eksistensinya di bumi ini. "RINJANI!"
Debuk!
"Awwws!" Cowok itu memegang dadanya kesakitan. Baru saja Rinjani menghantam dadanya menggunakan tas sekolah, hanya karena Meru nyaris menyentuh tangan gadis itu.
Berbalik pergi, di langkah ke tiga Rinjani berhenti, lalu tanpa menoleh dia berkata, "Itu belum seberapa dibanding sakit hati gue!" ucapnya sembilu. Maha Meru tergugu, tidak bisa berkata-kata saat Rinjani mengatakan kalimat itu dengan tajam. Tapi ....
"Tunggu! Rinjani!" Berlari sekuat tenaga, Meru berhasil menarik pergelangan tangan Rinjanji, menghentikkan pergerakan gadis itu. "Gue mohon jangan kayak gini Rinjani," pinta Meru lemah.
"Gini gimana?" tanya Rinjani setelah menghempas tangan Meru. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, sedikit mengangkat dagu menunjukkan gaya pongah.
"Lo terlalu dingin dan ini bukan Rinjani yang gue kenal," ucap Meru sendu.
"Lo ngomong seolah lo paling ngenal gue." Rinjani berlalu pergi setelah mengatakan itu. Tahu Meru akan kembali mengejarnya Rinjani berkata, "Berenti jadi setan yang terus ngikutin gue, Ru."
Meru tertunduk lemas. Rinjani bahkan sudah memintanya berhenti sebelum dia melangkah mengejar gadis manis itu.
"Kenapa lo harus jadi sesulit ini Jani. Rasanya sakit banget dianggap setan sama orang yang gue sayang."
Ya, walau sepenuhnya Meru sadar, dia yang membuat karakter Rinjani menjadi sedingin nan sesinis ini, dia menyakiti Rinjani terlalu dalam, membuat kesalahan tak termaafkan pada gadis itu.
Rinjani sendiri masih tetap kalut setiap kali bersitatap dengan Meru, rasa sakit yang berusaha ia tutup rapat langsung menganga begitu wajah Meru tertangkap indra penglihatannya.
"Emangnya siapa lagi yang lebih jahat dari lo Ru? Lo khianatin gue tapi nggak ada yang bisa gue lakuin selain nangis. Jadi gini, ya, rasanya putus sebelum jadian," gumam Rinjani sakit.
"AARRRGGH!" jeritnya Frustrasi.
Harusnya Rinjani segera menyetop taksi dan pulang ke rumah, tapi yang dia lakukan justru berjalan dengan kepala tertunduk, menyeret tas sekolahnya menyusuri jalan aspal.
Sampai akhirnya dia menyadari kegaduhan di sekitarnya. Kendaraan yang putar arah, pengendara yang bersumpah serapahan, segerombolan anak laki-laki berseragam sekolah.
Tidak salah lagi, pasti akan ada tawuran antar sekolah.
Seringai lebar muncul di wajah manis Rinjani.
"Serendipity," gumamnya kemudian terbahak sinting.
Gadis itu mendekat. Melempar tas sekolahnya ke sembarang arah.
Dasi yang terpasang rapi ia lepas dengan brutal, lalu ia ikatkan di kepala seolah dirinya adalah pendekar. Tak lupa kemeja pink setengah lengan itu ia gulung menjadi lebih pendek.
Saat dua kubu anak laki-laki itu berlari dan sama-sama berteriak, "SERAAAAAANG!" Rinjani ikut berlari dan berteriak lantang. Melompat tepat ke tengah kerumunan orang-orang yang saling bertukar tinju. Mencoba berbaur, namun percuma karena warna seragam sekolahnya yang mencolok—beda sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pelarian
Teen FictionRasa sakit itu, tidak pernah bisa terlupakan .... Waktu tak sanggup membuat sang luka pudar dan senyum hanya membalut segala luka yang menganga nyeri di dalam dada. "Nggak papa, gue nggak perlu maaf dari lo. Toh, disia-siain sama lo gue ngerasa jadi...