Rinjani benar-benar gemas, saking gemasnya sampai tidak tahan untuk mencekik leher cowok itu.
Dia sudah benar-benar lelah mengusir Meru namun, Meru tidak pernah bosan datang ke rumahnya setiap malam minggu, membuat Rinjani naik darah.
"Pergi nggak lo?!"
"Nggak." Meru tersenyum lebar. "Ayok kita kencan Jani."
"Mimpi aja sampe mati!" sahut Rinjani judes.
Menggenggam paksa kedua tangan Rinjani, Meru menatap dalam-dalam manik gadis di depannya. "Kasih gue kesempatan Rinjani. Gue bener-bener sayang sama lo."
Rinjani mendesis muak. "Simpen aja kata-kata sampah lo itu, gue nggak butuh!" ujarnya sembari menghentakkan tangan. Membuat tangan Meru terlepas dari tangannya.
"Sampe kapan lo terus nggak tahu diri kayak gini, Ru? Lo yang nyakitin gue, lo yang bikin sosok Rinjani jadi sesinis ini." Rinjani melangkah mundur. "Jadi ... jangan pernah salahin siapa pun selain diri lo sendiri."
"JANI!" Meru memeluk perut Rinjani, tepat saat gadis itu berbalik nyaris melangkah pergi.
"Lepas!" geram Rinjani.
"Gue emang nggak tahu diri Jani, tapi gue nggak peduli ... sama sekali nggak peduli. Karena lo bahkan lebih penting dari ego dan harga diri gue Rinjani!"
Rinjani ingin memaki, namun tak ada satu kata pun yang sanggup menerobos kerongkongannya. Matanya memanas.
Dia ... masih saja selemah ini.
Meru memaksa Rinjani untuk berbalik menatapnya. Tertegun saat melihat wajah gadis itu basah oleh air mata.
"Jani ...." Meru tidak tahu harus berkata apa. Maka yang ia lakukan hanya mengulurkan tangannya dan menghapus air mata Rinjani. "Jangan nangis."
Rinjani justru kian terisak.
Rasa sesak di dada membuat Rinjani kehilangan separuh kesadarannya. Dia bahkan diam saja saat Meru memeluk tubuhnya, mengusap punggungnya hati-hati.
Kedua tangan Meru beralih menangkup kedua sisi wajah Rinjani. Lalu salah satu tangannya terangkat, ujung jemarinya menyusuri wajah Rinjani dari kening, hidung hingga ke bibir.
"Seluruh dunia tahu seperti apa keindahan Rinjani tapi, hanya segelintir orang beruntung kayak gue yang tahu betapa indahnya Rinjani di depan gue ini." Bersamaan dengan itu Meru mengecup ibu jarinya yang ia letakkan di bibir Rinjani.
***
"Kenapa lo? Bengong mulu kayak ayam sakit," ujar Kayla heran.
Rinjani hanya melirik sekilas kemudian menghela napas. Sama sekali tidak berniat menanggapi.
Dia masih tidak habis pikir. Kenapa dia membiarkan Meru memeluknya juga melihatnya menangis?
Di belakangnya Meru pasti tertawa karena ternyata dirinya masih saja selemah dulu.
"Gue ... makin benci aja sama cowok itu."
"Ooooh, jadi dari tadi lo ngelamun mikirin cowok? Bagus ya!" kesal Kayla.
"Apaan sih lo?! Berisik tahu nggak!"
Kayla berdecak. "Heran gue. Kenapa sih? Masih aja betah temenan sama cewek galak, judes, sensian kayak lo." Gadis itu mulai mengeluh.
Rinjani memberengut. "Terus aja jelek-jelekin gue. Toh gue bakal tetep baik di mata orang yang tepat."
"Idiiiii, baca quotes di mana Bu?" Kali ini Kayla tertawa.
"Bolos yuk Kay."
"Sinting. Abis kebentur apa pala lo hah?"
"Mental gue kayaknya yang kebentur." Bertopang dagu, Rinjani memasang wajah tak bergairah. "Tapi seriusan, gue pengen bolos Kay. Lo nggak mau nemenin gue apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pelarian
Teen FictionRasa sakit itu, tidak pernah bisa terlupakan .... Waktu tak sanggup membuat sang luka pudar dan senyum hanya membalut segala luka yang menganga nyeri di dalam dada. "Nggak papa, gue nggak perlu maaf dari lo. Toh, disia-siain sama lo gue ngerasa jadi...