3. Bayang-Bayang Masalalu

48 8 2
                                    

"Baliklah apa lagi?" sahut Rinjani tanpa repot-repot menoleh. Jika tidak dingin gadis itu memang akan sejudes dan segalak ini.

Gabril yang nyaris berteriak mengurungkan niatnya, ketika mendapat tepukan ringan di bahu. Dia menoleh. "Apa?"

"Kayaknya ... gue juga tertarik sama Rijani," ucap Bima dengan senyuman.

"Mati aja lo bangsat! Udah ditolong nggak tahu diri!" desis Gabril sembari memutar bola mata malas.

Bima tertawa. "Santai, cuma becanda kali. Tapi kalo Rinjani mau yaaa gue nggak nolak dong."

"Mimpi aja sampe mati!" rutuk si cowok jangkung. Dia tersenyum sinis sebelum akhirnya diam-diam membuntuti Rinjani.

Dia sudah bilang akan menjemput gadis itu malam ini, namun lupa mencari tahu alamat rumahnya. Jadi lebih baik membuntuti Rinjani saja untuk mengetahui di mana dia tinggal.

***

Kayla bilang malam sabtu dan minggu adalah malam yang panjang, malamnya anak muda. Sebab di malam itu anak sekolah bebas melakukan banyak hal.

Tapi kedua malam itu adalah malam yang Rinjani benci.

Malam sabtu adalah malam di mana Meru selalu mengajaknya kencan. Sementara malam minggu adalah malam di mana Rinjani melihat Meru kencan dengan gadis lain.

Kedua malam itu sungguh meninggalkan kenangan termenyakitkan. Mau bagaimana lagi? Kebohongan dan pengkhianatan merupakan dua hal yang tidak bisa Rinjani toleransi. Sama sekali.

Sekarang yang ia lakukan hanya memakan ramen super pedas sebagai teman nonton. Walau satu-satunnya jenis 'mie' yang ia suka hanya mie instan, bukan ramen, samyang, apalagi spaghetti, dia tetap nekat memakan Ramen.

Ah, dan jangan lupakan jika seorang Rinjani sama sekali tidak suka pedas.

Jika ini bisa disebut bunuh diri mungkin Rinjani memang tengah melakukan itu.

"Gila, sih, ini ramen rasa racun." Walau mulutnya bilang begitu namun tangannya kembali menyuapkan ramen itu. "Hah!"

Sekarang Rinjani menangis bukan karena film yang ia tonton melainkan karena pedasnya ramen yang ia makan.

"Ri," panggil sang bunda.

Rinjani menoleh cepat. "Iya, Bun?"

"Ada yang nunggu di ruang tamu."

"Hah?"

"Ada yang nunggu di ruang tamu," ulang sang bunda sabar.

"Orang, Bun?" tanya gadis itu cengo.

Wanita cantik yang setia berdiri di ambang pintu itu meletakan telunjukknya di dagu-berlagak seperti orang berpikir. "Kayaknya, sih, bukan. Soalnya ganteng banget kayak pangeran negeri dongeng."

Sontak saja Rinjani melengos malas. "Oh cowok. Suruh pulang aja, Bun."

"No, no, no. Udah berapa banyak cowok yang dateng ke rumah ini dan kamu usir, hm?" Arina berkacak pinggang. "Ayok temui pangeran dongeng itu."

"Nggak."

"Rinjani."

"Nggak."

"Kamu mau jadi anak durhaka?"

"Bundaaaa," rengek Rinjani sebal.

Arina sedang dalam mode tidak mau tahu, wanita berusia tiga puluh tahun itu melenggang pergi tanpa menghiraukan rengekan sang putri.

Menyebalkan! Siapa sih pangerang dongeng itu? Berani-beraninya dia meracuni otak bunda.

Melangkah ogah-ogahan menuruni tangga, hanya demi menemui tamu tak diundang.

Sampai di ruang tamu, Rinjani melihat sang bunda yang tengah menata minuman juga beberapa camilan di meja.

"Jadi uler sawah ini yang Bunda bilang pangeran dari negeri dongeng?!" Rinjani menunjuk wajah Gabril histeris.

Sedetik kemudian Arina langsung mengusap wajah sang putri. "Istighfar," titah sang bunda.

"Astaghfirallah," ucap Rinjani dengan ringisan pelan.

Arina mengangguk dua kali sebelum akhirnya pamit pergi. "Bunda tinggal ya."

"Iya, Bun, makasih minumannya." Gabril mengukir senyum manis.

"Pulang nggak lo?!"

"Lo ngusir gue?"

"Menurut lo?" sinis Rinjani. Seperti biasa, dia melipat tangan di depan dada dengan lagak pongah.

Gabril beranjak bangun, berdiri di depan Rinjani dengan kedua tangannya yang berada di dalam kantong celana.

Sedikit mendongak untuk menatap Gabril yang menjulang tinggi di depannya, Rinjani berdecak kesal. "Buruan pergi."

"Hm, gue pergi ... sama lo." Gabril mengerling.

Kali ini Rinjani berkacak pinggang. "Susah, ya, ngomong sama orang aring!"

Gabril ngakak. Apa maksudnya coba orang aring?

"Kenapa sih susah banget diajak jalan. Tenang aja, lo mau apa pun gue yang bayarin kok."

"Denger ya uler sawah." Sekarang Rinjani kembali memanggil Gabril dengan sebutan ular sawah. "Gue nggak perlu duit lo! Lagi pula, cuma selingkuhan yang diajak jalan malam sabtu!" Gadis itu membuang muka.

Gabril membatu. Sepertinya dia mulai mengerti pola pikir Rinjani. "Cowok brengsek mana yang berani nyakitin lo sebegitu dalemnya, hm?"

Rinjani melirik lewat ekor matanya. "Lo ngomong kayak gitu seolah lo bukan cowok dan seolah lo nggak brengsek." Tersenyum sinis. "Harus berapa kali gue bilang kalo semua cowok tuh sama aja bau bangkenya."

Lalu Rinjani berlari menuju kamarnya, meninggalkan cowok berjaket hitam yang terdiam dengan helaan napas dalam.

"Rinjani ... gue nggak bau bangke, gue nggak brengsek kayak cowok yang udah nyakitin lo."

Sialan. Gara-gara 'cowok' itu kini Gibran bahkan kesulitan hanya untuk mengajak Rinjani jalan-jalan.

_Tbc_

Part ini lebih pendek XD
Mood saya buat nulis lagi terjun wkwk

Bukan PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang