1; perjaka 45

4K 123 1
                                    

"Kapan nikah, Tyo?" Aku tengah duduk di dapur sambil memotong-motong sayur ketika beberapa ibu-ibu datang berbondong masuk ke sana, aku menghela napas gusar akan pertanyaan tersebut. Pertanyaan super klise yang ditanyakan pada jomlo sepertiku sebenarnya, tapi kala keluar dari mulut ibu-ibu, rasanya sama sekali tak nyaman karena mereka punya atmosfer kejulidan yang membahana.

Mereka mulai membantu motong ini itu, terserahlah mau diapakan, yang penting aku melakukan pekerjaanku.

"Iya, Tyo, harusnya sih kamu duluan nikah, bukan adik kamu, kamu gak sakit hati apa dilangkahin?" Ibu kedua nyeletuk, memang saat ini tengah membuat makanan untuk pernikahan adikku nanti.

Rasanya muak, inilah kenapa aku jarang pulang kampung, biasanya hanya beberapa bulan sekali, itu pun tak lama, hanya untuk bersua dengan orang tua dan sanak saudara. Namun kali ini, ada event wajib yang harus aku hadiri, pernikahan adik semata wayangku, jelas aku sangat berbahagia akan hal itu dan tak akan ragu membantu, menikmati tiap momennya sungguh tak masalah.

Namun, bibir-bibir berlambe cibir mereka inilah, bagian tak aku suka, andai mau, kupilih seharian di kamar saja, tetapi karena aku anak yang baik, aku hanya senyum saja.

"Doain saja, ya, Buibu." Tidak perlu, sih. Aku masih enjoy life sebagai wanita single, karir, dengan banyak teman dan uang melimpah. Hasilnya aku punya apartemen dan rumah ini tak lagi gubuk reot jelek, salah satu paling bagus malah. Masih belum memikirkan ke jenjang itu meski Romansa sudah. Namun, ada Sarah dan Vivian, mereka jones sepertiku, kenapa harus takut?

"Aamiin, aamiin, moga moga ya, eh kalau mau Ibu kenalin ke anak teman Ibu? Atau anak Pak Lurah?"

Aku hanya senyum, tak mau menyahut.

"Jangan ditunda-tunda, Tyo, kalau ada yang ngelamar. Langsung terima harusnya, nanti keburu jadi perawan tua lho!" Aku diam-diam memutar bola mata malas. Perawan tua? Terserahlah. Beberapa orang memang melamarku, tapi aku ini malas.

Malas banget.

Apalagi ... yah, tak perlu diceritakan soal kenapa aku begitu.

"Gimana, Tyo? Mau gak?"

"Kapan-kapan, Bu--"

"Ah, pasti maunya yang anak kota ya? Seleranya gak level kalau desa? Aduh, jangan salah, Tyo, orang desa juga orang kaya, lebih kaya dari kamu." Ini orang asumsi mulu, deh. Padahal aku, bukannya pemilih, tapi memang tak mau memilih.

Paling-paling kalau sampai nanti jodohku tak nyangkut, hartaku ini kukasih ke keluarga saja.

"Bukan gitu, Bu--"

"Ya iya sih, orang kota mah gitu, padahal kamu tuh dari desa, sombong banget. Jadi perawan tua baru tau rasa." Ini aku megang pisau lho ini, jangan sampai intrusive thoughts-ku menang buat ngelempar ini ke arah congormu itu, tetapi aku hanya berusaha sabar menjawab.

"Bukan gitu, Bu, saya emang gak mau milih siapa pun dulu, mau enjoy sendiri," kataku akhirnya, terserah anggapan mereka apa.

"Jangan enjoy enjoy gitu, gak ada yang nolongin kalau kamu kenapa-kenapa." Ni ibu-ibu doain aku kenapa-kenapa apa gimana? "Ayo nikah, barengan aja sama adikmu nanti, lebih bagus."

Malas.

"Pankapan, Bu." Mereka kira nikahin manusia seperti nikahin hewan peliharaan, dasar.

Melewati masa-masa neraka bersama para ibu-ibu perumpi di dapur, akhirnya semua usai juga, untuk bagian memasak-masak ibu-ibu saja urusannya. Aku sendiri makan siang dan menuju ke kamar guna istirahat.

Dan, dalam kamar, aku menemukan adikku, sang calon pengantin, tengah rebahan dengan wajah sendu di sana.

"Ey, kenapa itu, Arif?" Oke, salahkan orang tua kami yang suka sekali memakai nama cowok ke nama cewek. Arifin Putri nama panjangnya, dan dia cewek.

"Mm, Kak ...." Dia mulai bangkit duduk, tampaknya lelah karena mengurus nikahan di sisi lain.

"Kenapa?"

"Kakak gak apa kan?"

Aku mengerutkan kening. "Gak apa kenapa?"

Arifin tersenyum kecut. "Kakak, aku baru aja loncatin Kakak nikah."

Oh, pasti lambe ibu-ibu meresahkan itu. "Ya terus? Kenapa?"

"Aku merasa bersalah sama Kakak," katanya, menunduk, aku menghela napas.

"Udahlah, abaikan pemikiran kolot mereka, Kakak aja gak ngerasa tersakiti kamu nikah duluan. Ini pilihan Kakak, itu pilihan kamu, ya gak apa."

Berikutnya, Arifin tersenyum. "Makasih, Kak."

"Hm, jangan dengerin omongan ibu-ibu itu, anggap aja radio rusak!"

Arifin mengangguk. "Oh, ya, Kak ...."

"Apa?"

"Kalau aku hamil, kemudian melahirkan, aku mau minta satu hal sama Kakak, boleh gak?"

"Minta apa? Jangan yang sulit-sulit, ya. Apalagi minta pulau." Kami tertawa pelan.

"Aku mau Kakak gendong anakku, Kak."

Mendengarnya, aku terdiam seketika.

"Mau, ya, Kak?"

Aku menunduk, uh, agak menyakitkan. Namun, aku memaksakan diri tersenyum, tak mau mengecewakannya. "Akan Kakak usahakan."

"Kak, apa pun yang terjadi di masa lalu, itu bukan salah Kakak, jangan merasa bersalah dan ngorbanin segala hal milik Kakak cuman buatku, aku--"

"Arifin, mending kamu tidur, kamu pasti capek, kan?" kataku, berdiri.

"Tapi, Kak--"

"Kakak mau keluar cari angin, ya, daaah." Setelahnya, aku beranjak pergi, tak mau mendengarkan terlalu jauh permasalahan tersebut, akan aku pikirkan nanti.

Setidaknya itu yang aku inginkan, tetapi tak terwujud, aku jadi kepikiran sepanjang perjalananku keluar rumah dan jalan-jalan di jalanan berbatu dan tanah itu, akan becek kalau musim hujan, beruntung bukan. Sana sini asri hijau khas perdesaan, beberapa kutemui sepeda dan gerobak, tetapi aku hanya melihat tanpa jeli, hingga tanpa diduga menabrak seseorang.

Untungnya, pelan, jadi hanya rantukan tanpa jatuh kejengkang.

Saat menatap, aku menemukan pria dewasa, tinggi besar dan kemudian tersenyum ke arahku.

"Mau ke mana, Dek Tyona?" tanya pria itu, menyengir konyol, dia kelihatan membawa pancingan, ember, serta plastik yang mungkin isinya perlengkapan lain.

Kalau tak mengenalnya lebih jauh, pria ini cukup seram, apalagi badannya lebih besar dari Arjuna, tetapi dari gesturnya. Memang, dia agak kurang jadi tak seram bagiku. Malahan aslinya dia baik, tuh.

"Gak ke mana-mana, Bang Cakra. Cuman mau cari angin. Abang sendiri, mau mancing ya?"

"Cari angin?" tanya Bang Cakra bingung, dia lalu menurunkan pancingnya, dan kemudian membuat gaya seperti mengipas-ngipasiku. "Tuh angin." Aku tertawa pelan, dia memang suka jokes bapak-bapak.

"Bisa aja, Bang," kataku, menatap hangat pria itu, dia lumayan tampan untuk pria yang hampir setengah abad. Sayangnya sih dia ....

"Mau ikut mancing? Kebetulan Abang bawa dua." Dia mengangkat pancingannya yang memang ada dua.

"Eeeeeeh, Tyo, ke mana kamu? Wah ada Cakra juga. Eh, Tyo, kamu ikut Ibu, deh, Ibu kenalin ke anak Ibu, jangan sampe kamu jadi perawan tua kayak perjaka tua ini! Ibu gak masalah, kok, kamu hampir tiga puluhan." Tanpa perasaan, ibu-ibu itu menunjuk tepat ke wajah Cakra.

Huh, bilang saja mau menantu yang banyak duit, dih.

Aku menatap wajah Cakra, kelihatan tak peduli, dia memang kurang ....

Namun, aku harus menghindari ini.

"Ah, nanti Bu, saya mau mancing dulu sama Bang Cakra. Ayo, Bang, kita ke empang!"

"Hehehe, ayo Dek Tyo." Aku berjalan menjauh bersama Cakra mengabaikan ocehan ibu-ibu itu.

Pusingnya tinggal di kampung begini ....

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang